KOMPAS.com - Pemerintah hingga saat ini masih harus terus menanggung bunga dan pokok utang dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada tahun 1998 silam.
Adapun bantuan likuiditas itu digelontorkan Bank Indonesia untuk membantu perbankan Indonesia yang sekarat dalam krisis keuangan tahun 1997-1998. Belakangan banyak konglomerat pemilik bank menyelewengkan uang BLBI dan sebagian lagi kabur ke luar negeri menghindari perkara hukum.
Selain membayar cicilan pokok, pemerintah juga harus membayar bunga utangnya karena sebagian dari BLBI ada yang menggunakan tingkat suku bunga yang dinegosiasikan.
"Pemerintah selain membayar pokoknya (utang BLBI), juga membayar bunga utangnya karena sebagian dari BLBI ada yang menggunakan tingkat suku bunga yang dinegosiasikan. Jelas pemerintah menanggung bebannya hingga saat ini," kata Sri Mulyani dikutip dari pemberitaan Kompas.com, 27 Agustus 2021.
Baca juga: Kronologi Korupsi BLBI Sjamsul Nursalim hingga Kabur ke Singapura
Untuk mengurangi atau mengompensasi utang tersebut, akhirnya pemerintah memburu para obligor atau debitur yang terindikasi menjadi penerima BLBI. Pemerintah meminta para obligor dari bank yang mendapat BLBI mengembalikan utangnya.
Utang BLBI sendiri muncul di tahun 1998, saat Indonesia mengalami krisis keuangan hebat yang menyebabkan banyak bank mengalami kesulitan likuiditas.
Nilai tukar rupiah yang ambruk di tangan dolar Amerika Serikat membuat perekonomian rakyat morat-marit. Kondisi ini menyebabkan situasi politik pemerintahan Soeharto tidak stabil.
Pemerintah melalui BI (saat BI belum jadi lembaga independen) kemudian mengucurkan dana pinjaman dalam bantuk bantuan likuiditas yang bernama BLBI.
Yang jadi masalah, uang yang dikucurkan pemerintah kepada para konglomerat pemilik bank itu bukan uang gratis yang turun dari langit atau dicetak oleh BI.
Baca juga: Kekayaan Sjamsul Nursalim, Buron Korupsi BLBI yang Kasusnya Distop KPK
Dana untuk BLBI didapatkan pemerintah dengan melakukan penjaminan atau blanket guarantee kepada seluruh bank-bank di Indonesia kala itu.
Bantuan likuiditas itu dibiayai dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) yang diterbitkan oleh pemerintah. Sampai saat ini, SUN masih dipegang oleh BI. Di mana dengan keberadaan SUN tersebut, tentunya pemerintah harus membayar bunga utang BLBI tersebut hingga sekarang.
Kala itu, talangan dana ini diberikan pemerintah kepada 48 bank komersial yang bermasalah saat itu. Di antaranya adalah Bank Central Asia (BCA) yang dulunya milik Sudono Salim, Bank Umum Nasional milik Mohamad Bob Hasan, Bank Surya milik Sudwikatmono.
Lalu Bank Yasin Makmur milik Siti Hardiyanti Rukmana, Bank Papan Sejahtera milik Hasjim Djojohadikusumo, Bank Nusa Nasional milik Nirwan Bakrie, Bank Risjad Salim Internasional milik Ibrahim Risjad.
Baca juga: Bedanya Kantor Pajak KPP Pratama, KPP Madya, dan KPP Wajib Pajak Besar
Total dana talangan BLBI yang dikeluarkan sebesar Rp 144,5 triliun. Namun 95 persen dana tersebut atau Rp 138,442 triliun ternyata diselewengkan, skandal ini dinilai sebagai korupsi paling besar sepanjang sejarah Indonesia.
Masuk tahun 2022, artinya pemerintah sudah membayar bunga BLBI selama 23 tahun. Sementara utang BLBI baru akan berakhir pada tahun 2033.