Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Rakyat Harus Menanggung Bunga Utang BLBI yang Dikorupsi Para Konglomerat?

Kompas.com - Diperbarui 14/08/2022, 21:44 WIB
Muhammad Idris

Penulis

Dikutip dari laman resmi Kemenkeu, setiap tahun, pemerintah harus membayar sekitar Rp 80 triliun rupiah untuk cicilan pokok dan bunga obligasi itu untuk menyelamatkan bank bermasalah milik para konglomerat tersebut.

Beban APBN tersebut tentunya berdampak langsung kepada seluruh rakyat karena harus ikut menanggungnya. Pembayaran bunga sebesar itu membuat ruang APBN semakin sempit.

Baca juga: Sudah Mendesak, tapi Duit APBN untuk Kereta Cepat Tak Kunjung Cair

Ini lantaran dana yang dipakai pemerintah untuk membayar bunga obligasi BLBI, seharusnya bisa digunakan untuk keperluan lain seperti subsidi listrik ataupun BBM.

Selama ini, lanjut dia, pemerintah menyiasati pembayaran pinjaman obligasi dengan cara reprofiling atau menerbitkan obligasi baru dengan tenor yang lebih panjang.

Dengan kata lain, bunga utang BLBI dibayar dengan penerbitan utang lainnya. Itu sebabnya, beberapa kalangan menyebut adalah utang bunga BLBI sebagai utang haram karena belakangan jadi sumber korupsi sehingga tidak layak menjadi tanggungan seluruh bangsa.

Selain melalui penerbitan utang baru, pemerintah sejauh ini juga masih mengandalkan penjual aset yang disita dari para obligor BLBI untuk meringankan beban APBN tersebut.

Baca juga: Satgas BLBI Sita Aset Tanah dan Bangunan Milik Sjamsul Nursalim

Utang BLBI dihapus

Sementara itu, pemerintah diminta menghentikan pembayaran subsidi bunga obligasi rekap eks BLBI. Alasannya, pembayaran itu menyedot anggaran untuk rakyat.

Menurut Staf Ahli Pansus BLBI Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Hardjuno Wiwoho, seharusnya anggaran pembayaran subsidi bunga obligasi rekap eks BLBI dialihkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Terlebih, Presiden Joko Widodo atau Jokowi juga sudah mengingatkan 800 juta jiwa penduduk dunia terancam kelaparan dan subsidi BBM di Indonesia sudah mencapai Rp502 triliun.

“Ini seharusnya jadi peringatan, kalau terus dipakai untuk hal tidak penting bisa menjadi ancaman anak cucu kita,” ujarnya dikutip dari Kompas TV.

Baca juga: Dilema Kereta Cepat China: Pilih yang Murah, Hasilnya Tetap Mahal

Oleh karena itu, sudah saatnya Presiden Jokowi menunjukkan kekuatan kepada konglomerat-konglomerat yang selama ini mengangkangi negara dengan menikmati bunga rekap hingga Rp 50-an triliun per tahun yang diambil dari APBN.

“Pajak rakyat dipakai untuk membayar bunga selama 23 tahun sejak 1999 yang bank-banknya hari ini sudah jadi bank raksasa semua. Sampai kapan dibiarkan,” ucap Hardjuno.

Hardjuno menilai jika pajak rakyat terus dibiarkan untuk membayar beban subsidi bunga obligasi rekap sampai 2043 jelas sangat tidak adil karena angkanya bernilai total Rp 4.000 triliun.

“Jumlah yang fantastis sekali. Ini sangat berbahaya, apalagi tingkat kemiskinan hari ini masih dua digit dan ancaman kelaparan di depan mata,” tuturnya.

Ia berpendapat, ekonomi Indonesia masih dibayang-bayangi situasi ketidakpastian. Apalagi, saat ini semua negara dalam tekanan keuangan hebat. Sebab, anggaran besar untuk pandemi Covid-19 kemarin berasal dari utang.

Baca juga: Kala Jonan Tak Hadir Saat Jokowi Groundbreaking Kereta Cepat Jakarta-Bandung dan Alasannya...

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com