Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Heryadi Silvianto
Dosen FIKOM UMN

Pengajar di FIKOM Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dan praktisi kehumasan.

Aplikasi dan Medsos Pemerintah Bejibun, tapi Tidak Optimal

Kompas.com - 18/08/2022, 06:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENTERI Keuangan Sri Mulyani mengatakan saat ini pemerintah punya lebih dari 400.000 aplikasi. Bahkan setiap kementerian/lembaga memiliki 24.000 aplikasi, namun ironisnya aplikasi-aplikasi itu tidak beroperasi secara multifungsi sehingga tidak efisien dan membuat boros anggaran negara.

Merespons situasi tersebut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tengah menyiapkan pengembangan aplikasi super (super apps) untuk mengintegrasikan lebih dari 24.000 aplikasi milik kementerian dan lembaga hingga pemerintah daerah.

Bukan pekerjaan mudah dan murah, namun sebagai sebuah inisiatif tentu patut diapresiasi.

Baca juga: Sri Mulyani Keluhkan 24.000 Aplikasi Pemerintah Bikin Boros Anggaran, Menkominfo: Akan Ditutup

Lepas setahun lalu, Lembaga swadaya masyarakat Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan penggunaan anggaran pemerintah pusat untuk influencer atau pemengaruh sebesar Rp 90,45 miliar untuk sosialisasi kebijakan sepanjang tahun 2014 sampai 2019.

Angka-angka di atas hanyalah dampak dari “gunung es” dan ‘kegandrungan’ lembaga pemerintah dalam merespons perubahan yang terjadi.

Persoalan ini timbul karena sejak awal tidak dibangun satu model atau desain yang lebih terstruktur serta komprehensif terhadap penerapan inovasi maupun komunikasi dalam lembaga pemerintah.

Gov-Apps

Saat ini kita melihat bahwa banyak institusi pemerintah membangun komunikasi publik dengan menggunakan media sosial dan aplikasi (gov-apps).

Dengan niat awal berikhtiar melakukan pelayanan secara efektif berbasis aplikasi dan membagi informasi melalui beragam postingan yang diunggah di media sosial. Berkelindan satu sama lain, menjadi sejumlah fitur yang dimiliki lembaga pemerintah.

Secara umum ada dua jenis aplikasi yang sedang dikembangkan oleh lembaga pemerintah, yaitu aplikasi yang berfokus pada institusi untuk membantu pegawai pemerintah melakukan pekerjaan mereka secara lebih efisien dan efektif dengan memberi titik sentral dalam berkomunikasi dan berkolaborasi.

Sedangkan di sisi lain, Pemerintah juga mengembangkan aplikasi yang berfokus pada warga untuk dapat memperoleh informasi real time, layanan publik dan meningkatkan keterlibatan.

Aplikasi pemerintah bukanlah sesuatu yang baru, karena banyak negara di dunia ini yang sudah menggunakan aplikasi pemerintah.

Di Amerika Serikat saja melalui National Association of State Chief Information Officers (NASCIO) menyediakan database online tempat orang dapat mencari lebih dari 320 aplikasi yang dikembangkan pemerintah di seluruh Amerika Serikat.

Fungsi utama gov-apps adalah untuk meningkatkan nilai pelayanan pemerintah. Namun persoalan sejatinya bukan di flatform, namun pada pesan yang diproduksi apakah berhasil memberikan stimulus bagi publik internal ataupun eksternal untuk memanfaatkan pelayanan dengan lebih baik.

Bahkan, beberapa aplikasi pemerintah mendapat komentar negatif dari pengguna karena kinerjanya tidak terlalu efektif dan efisien.

Alasan lainnya adalah gov-apps tidak memberikan informasi detail, bahkan gov-apps terkadang berjalan tidak maksimal.

Pentingnya Social Media Based Government (SMBG)

Syahdan, penggunaan media sosial dan aplikasi berkembang jamak tidak hanya pada institusi namun juga kepada para pelaku yang ada di dalamnya seperti pejabat atau politisi.

Di lingkungan Pemerintah secara faktual keberadaan media sosial seringkali masih sebatas teknis dan alokasi anggaran, belum ditempatkan secara strategis sebagai perencanaan komunikasi yang komprehensif.

Sehingga dampaknya tidak signifikan dalam menciptkan ekosistem digital dan informasi yang sehat serta efektif.

Menyikapi situasi tersebut, maka diperlukan mind set Pemerintah yang berbasis kepada media sosial atau Social Media Based Government (SMBG).

Ada banyak manfaat utama menggunakan media sosial di pemerintahan, termasuk untuk komunikasi krisis, kesadaran kampanye sosial, dan banyak lagi.

Namun perlu disadari bahwa pemerintah berbasis media sosial lebih dari sekadar tweet, posting, suka, dan bagikan. Ini adalah budaya tata kelola transparansi, berbagi, keterbukaan, dan kolaborasi yang difasilitasi (atau dipupuk) oleh media sosial (Khan 2014).

SMBG bukan hanya tentang membangun kehadiran media sosial dengan membuat halaman penggemar (fanpage) Facebook atau akun Twitter pemerintah, tetapi harus dilengkapi dengan budaya tata kelola berbagi (Sharing), transparansi (Transparency), keterbukaan (Openess), dan kolaborasi (Colaboration) atau yang disebut budaya STOC.

Tanpa budaya STOC manfaat penuh dari SMBG seperti mempromosikan transparansi, keterbukaan, memerangi korupsi, dan memberdayakan warga biasa dalam menciptakan pelayanan publik tidak dapat diwujudkan.

Pemerintah harus melihat media sosial sebagai sarana strategis untuk melayani warga secara efektif (services), memberikan ruang suara untuk mereka (voice) , dan pada saat yang sama mengurangi biaya administrasi (cut budget).

Prasyarat dan komponen kesiapan STOC

Penggunaan media sosial meningkat pesat belakangan ini. Kementerian dan lembaga menggunakan medsos sebagai salah satu sarana berinteraksi dengan warga.

Masih ada beberapa tantangan mengenai rencana manajamen risiko seperti privasi bagi warga negara, kebenaran konten, kebijakan dan integrasi media sosial dengan tata kelola pemerintah.

Kesiapan penerapan budaya STOC pada institusi pemerintah baik di bidang politik, hukum, keuangan, teknis, dan sosial memerlukan sejumlah prasayarat agar pada akhirnya mendapatkan hasil yang diharapkan.

Pertama, kepemimpinan. Dalam mendorong budaya STO, komitmen yang kuat untuk terlibat di media sosial dari pimpinan sangat penting.

Karena sesungguhnya budaya STOC yang berakar di sektor publik sangat bergantung dari kepemimpinan yang kuat, itikad politik yang baik, komitmen yang sungguh-sungguh, dan keinginan untuk membuat pemerintah lebih transparan dan terbuka.

Karena ujung pangkal dari seluruh rentang proses tersebut adalah hadirnya pelayanan publik yang informatif, terjangkau dan cepat.

Maka ada sejumlah pertanyaan yang patut dijawab dalam memenuhi kebutuhan kepemimpinan yang baik dalam mendorong penggunaan media sosial.

Apakah pimpinan berpartisipasi aktif melalui media sosial? Apakah pimpinan tingkat tinggi memahami potensi media sosial bagi khalayak umum?

Apakah ada struktur yang mapan untuk melaksanakan kebijakan dan implementasi inisiatif berbasis media sosial (seperti crowdsourcing)?

Apakah ada kegiatan atau rencana institusi yang relevan dengan media sosial? Apakah dalam konteks situasi politik negara yang lebih luas membantu atau menghalangi keterlibatan melalui media sosial?

Sejumlah pertanyaan di atas akan menjadi beban sepanjang dipahami sebagai deretan persoalan. Namun sebaliknya akan menjadi tantangan dan kesempatan menghadirkan pemerintahan yang lebih inklusif ketika menempatkannya sebagai bentuk kolaborasi dan transformasi budaya.

Kedua, kerangka kebijakan dan hukum. Memiliki kebijakan yang baik sangat penting di tahap awal dalam membangun budaya kondusif berbasis media sosial.

Sebagai contoh dalam skala mikro sejumlah kementerian dan Lembaga memberlakukan kebijakan media sosial untuk membangun budaya keterbukaan, kepercayaan, dan integritas dalam aktivitas online mereka.

Adapun secara makro pembahasan Rancangan Undang Undang Perlindungan (RUU) Data Pribadi (PDP) kebutuhannya mendesak sebagai bagian dari ikhtiar negara dalam menjamin keamanan berkomunikasi warga berbasis digital.

Ketiga, struktur kelembagaan, tanggung jawab, dan keterampilan dalam pemerintah. Sebuah institusi pemerintah juga harus memiliki atau mengembangkan struktur, prosedur, dan keterampilan untuk mengelola "sisi penawaran" dari inisiatif media sosial.

Termasuk proses media sosial manajemen, keberadaan Sumber Daya Manusia (SDM) TIK terampil yang mampu menangani platform media sosial (misal platform crowdsourcing dan kemampuan analitis).

Keempat, mendorong keterlibatan warga di media sosial. Pemerintah agar mendapatkan sebagian besar nilai sosial dan ekonomi dari keterlibatan di media sosial, maka perlu menciptakan dan memiliki hubungan yang kuat atau engagement dengan publik.

Atas dasar itu maka instansi juga perlu mengelola dan mengembangkan “sisi permintaan” dan kemitraan dengan melibatkan konsumen media sosial termasuk; influencer, warga, perusahaan swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga lainnya.

Karena sesungguhnya hanya permintaan yang kuat dapat mengarah pada ekosistem inovatif di mana masyarakat menciptakan bisnis dan jasa yang memberikan nilai sosial serta ekonomi.

Kelima, ekosistem inovasi kolaboratif. Untuk dampak sosial dan ekonomi yang lebih besar, selain berbagi informasi melalui media sosial, pemerintah harus mencoba menciptakan “ekosistem inovasi kolaboratif” di mana pemerintah menangani kerangka kebijakan/hukum untuk keterlibatan media sosial, kesiapan kelembagaan, pengembangan kapasitas, keterlibatan warga, pembiayaan inovasi, dan teknologi infrastruktur.

Dalam pendekatan “ekosistem”, pemerintah sebagai ‘hub’ menciptakan nilai sosial dan ekonomi dengan melibatkan masyarakat sipil untuk mendapatkan umpan balik, menciptakan layanan publik bersama, solusi atau ide crowdsourcing, dan menciptakan bisnis inovatif baru.

Keenam, pertimbangan Anggaran. Sumber daya keuangan diperlukan untuk mendanai baik "penawaran" samping, misalnya, pengembangan dan pemeliharaan portal media sosial, keterampilan TIK pelatihan, pengembangan aplikasi, dan analisis data.

Hal lain, "sisi permintaan" seperti membiayai proyek-proyek inovatif yang muncul dari ekosistem kolaboratif dan pengembangan kapasitas dari inisiatif media sosial.

Ketujuh, infrastruktur teknologi nasional. Komponen kesiapan dilakukan dengan melihat kedalam infrastruktur pengetahuan dan TIK secara nasional.

Misalnya, seperti ketersediaan akses internet berkecepatan tinggi, kehadiran web pemerintah, penetrasi smartphone, pengembang dan pemrogram yang terampil, standar data terbuka, dan keterampilan analisis data.

Pemerintah di semua tingkatan baik daerah maupun pusat mencari sarana komunikasi yang lebih baik untuk mendorong transparansi lebih besar.

Kemudian lebih banyak partisipasi serta kolaborasi dengan warga dalam berbagai kegiatan pemerintah, mulai dari penyebaran informasi hingga untuk merumuskan kebijakan dan memberikan layanan terbaik.

Entitas pemerintah yang menggunakan media sosial dapat berinteraksi langsung dengan warga dengan cara yang lebih personal dan mudah diakses daripada berhubungan dengan media seperti konferensi pers, penampilan televisi, atau iklan.

Penting bagi individu dalam organisasi pemerintah untuk memahami bagaimana proses di media sosial, jika dilakukan dengan baik dapat memberikan banyak manfaat.

Namun niat terbaik pun bisa salah, sehingga para profesional yang bertanggung jawab atas akun pemerintah juga perlu bersiap menghadapi tantangan interaksi langsung dengan publik di media sosial.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com