Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Mau Lagi Basa-basi ke Elon Musk, Luhut: Hey, Mau Kau Gimana?

Kompas.com - Diperbarui 21/08/2022, 14:21 WIB
Muhammad Idris

Penulis

Setelah pada 2021 lalu, Pemerintah Indonesia terus merayu hingga melakukan penandatanganan non-disclosure agreement (NDA) dengan Tesla. Namun faktanya kesepakatan itu berakhir dengan kegagalan.

"Tapi mereka sudah membeli, nah itu yang bagus, dua produk dari Indonesia. Dari Huayou, satu lagi dari mana, dia sudah tandatangan kontrak untuk lima tahun. Jadi dia (Tesla) sudah mulai masuk di situ, tahap pertama sudah masuk," ujarnya.

Baca juga: Cara Mengambil Uang di ATM yang Benar dan Aman, Bisa Semua Bank

Adapun nilai kontrak pembelian nikel tersebut senilai 5 miliar dollar AS atau setara Rp 74,5 triliun (kurs saat ini Rp 14.900).

"Nanti kami lihat lagi untuk membuat lithium baterai dia. Lokasinya di Morowali, karena ada berapa belas industri di sana. Dia sudah engage di sana. Kontrak dia (Tesla) mungkin sekitar 5 miliar dollar AS," ucapnya.

Namun terkait rencana Tesla untuk membangun pabrik otomotif berbasis listrik di Tanah Air, Luhut mengatakan pihaknya masih melakukan negosiasi.

"Tesla ini kami masih negosiasi terus. Karena Tesla ini masih sibuk dengan dalam negeri dia, dengan masalah Twitter dan sebagainya," kata Luhut.

Baca juga: Sudah Mendesak, tapi Duit APBN untuk Kereta Cepat Tak Kunjung Cair

Dikritik

Namun kesepakatan Tesla dengan dua perusahaan China yang berdiri di Indonesia, yakni Zhejiang Huayou Cobalt Co dan CNGR Advanced Material Co dinilai melecehkan Indonesia.

Ekonom Konstitusi Defiyan Cori menyebutkan, Tesla seharusnya melakukan perjanjian langsung dengan Pemerintah Indonesia lantaran sumber daya alam salah satunya nikel merupakan kuasa RI.

"Penandatanganan kontrak pembelian nikel antara Tesla dengan dua supplier asal China, Huayou dengan CNGR ini jelas melecehkan posisi Indonesia sebagai pemilik sumber daya mineral atau bahan bakunya," kata dia.

"Padahal, kedua perusahaan RRC itu telah membangun pabriknya di Indonesia, yang seharusnya ada klausul pelarangan menjual kembali komoditas nikel ini kepada pihak lain," ungkap Defiyan lagi.

Baca juga: Bedanya Kantor Pajak KPP Pratama, KPP Madya, dan KPP Wajib Pajak Besar

Selain itu secara ekonomi, Pemerintah Indonesia menurutnya jelas dirugikan atas selisih harga jual penjualan dengan harga pokok produksi komoditas nikel.

"Seharusnya potensi nilai tambah produksi dari hasil penjualan itu bisa lebih besar diperoleh di Tanah Air, dibandingkan dengan penjualan ke Tesla," ucap Defiyan.

Defiyan bilang, perlu dicermati juga dengan seksama materi kontrak kerja sama pembangunan pabrik pengolahan nikel antara Pemerintah RI dengan kedua perusahaan China tersebut, apakah posisi mereka menunjukkan suatu tindakan wanprestasi atau ada unsur manipulasi dan korupsi serta kolusi dengan pejabat penandatanganan kontraknya.

"Meskipun kedua perusahaan itu membayar pajak kepada pemerintah Indonesia, namun penjualan bahan baku nikel yang dilakukan oleh perusahaan China tersebut tidak dibenarkan secara konstitusional," ujarnya.

Baca juga: Berapa Gaji Pasukan Oranye atau PPSU DKI Jakarta?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com