Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memosisikan Gas Bumi Sebagai Jembatan Transisi Energi, Apa Saja Pekerjaan Rumah yang Harus Dihadapi?

Kompas.com - 23/08/2022, 19:41 WIB
Aprillia Ika

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Isu transisi energi kencang digaungkan pemerintah saat ini, terutama menuju perhelatan G20 di Bali pada November 2022 mendatang. Pemerintah terus menegaskan komitmen dalam pengurangan emisi karbon dalam target nett zero emission. Namun di sisi lain terdapat tantangan soal ketahanan energi.

Lantas, di mana posisi gas bumi dalam transisi energi di Indonesia?

Dalam acara Media Briefing IPA Convex, bertajuk “Gas Bumi sebagai Jembatan Menuju Transisi Energi”, Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong mengatakan bahwa gas bumi diharapkan dapat menjadi andalan dalam mendukung transisi energi.

Gas bumi sebagai sumber energi berbasis fosil juga dinilai lebih bersih emisinya daripada batu bara dan minyak bumi.

“Indonesia memiliki potensi gas bumi yang sangat besar sehingga diyakini dapat mendukung proses transisi energi dengan tetap memenuhi kebutuhan energi nasional. Namun ada banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi terlebih dahulu agar potensi gas bumi yang ada tersebut dapat diproduksi dan dimanfaatkan secara maksimal,” kata Marjolijn dalam acara IPA Convex di Jakarta, Selasa, (23/8/2022).

Baca juga: Gas Bumi, Apa Saja Keunggulan dan Manfaatnya?

Pekerjaan rumah yang harus dibenahi

Tantangan yang dihadapi yakni bagaimana memastikan agar kebijakan yang dibuat dapat meningkatkan keyakinan investor untuk terus berinvestasi dalam proyek-proyek gas yang ada.

“Buat investor, kalau pasarnya remote (jauh dari sumber gas), bawa ke pasarnya itu mahal. Oleh sebab itu butuh investasi yang tidak kecil,” ujar Marjolijn.

Tantangan kedua, dari sisi harga, yakni memperbaiki persepsi harga gas 6 dollar AS per MMBTU agar tak memberikan dampak negatif ke investor. Sebab harga tersebut memberikan extra pressure ke investor sementara lokasi penemuan gas tidak gampang ditempuh,alias jauh-jauh.

“Kalau dari segi upstream, kalau harga gas ditekan murah dan dinilai tidak ekonomis bagi investor, pengembangan lapangan gas tidak akan sustainable. Ini enggak bagus bagi industri. Sebab dari sisi investor ya harus profit, oleh karena itu dia akan lihat tempat yang lebih nyaman,” papar Marjolijn.

Baca juga: Pulihkan Ekonomi, PGN Berkomitmen Terapkan Harga Gas 6 Dollar AS Per MMBTU

Harga gas bumi diusulkan jadi 7 dollar AS per MMBTU

Wakil Ketua Forum Pengguna Gas Bumi Indonesia (FPGBI), Achmad Widjaja menambahkan, gas bumi adalah bahan baku yang sangat penting untuk menggerakan industri. Namun, saat ini porsi gas bumi sebagian besar masih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan ekspor daripada industri dalam negeri.

Alhasil, kebutuhan domestik gas bumi untuk industri nasional pun belum optimal terpenuhi.

Achmad juga menyoroti soal harga gas bumi untuk sejumlah industri yang ditetapkan pemerintah.

“Kebijakan ini dirasa belum terlihat memberikan dampak pada tujuh jenis industri yang dimaksud. Belum ada inovasi, peningkatan daya saing, dan penciptaan multiplier effect seperti yang diharapkan, sesuai Kepmen 134/2021,” ujarnya.

Ia mengusulkan agar harga gas bumi dilepas ke 7 dollar AS per MMBTU untuk semua industri. Sebab, gas bumi selain untuk keperluan energi, juga saat ini jadi bahan baku industri.

“Ini supaya rata, yang penting sustain, misal buat 5 tahun, sehingga industri bisa itung biaya produksi. Kalau harga sekarang 6 dollar AS per MMBTU, ada industri yang dapat ada yang belum, walau industrinya termasuk dapat harga gas murah,” ujar Achmad.

“Pemerintah perlu memberikan perhatian khusus tidak hanya kepada industri hilir, melainkan juga kepada industri hulu yang menjadi produsen gas bumi,” tambahnya.

Baca juga: Eks Wamen ESDM Arcandra Tahar Sebut Gas Bumi Produk Energi Pilihan yang Ramah Lingkungan

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com