Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sri Mulyani: Pemerintah Pertimbangan 3 Faktor Sebelum Naikkan Harga Pertalite-Solar

Kompas.com - 23/08/2022, 20:10 WIB
Yohana Artha Uly,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, ada tiga faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memutuskan kebijakan terkait harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, yakni jenis Pertalite dan Solar.

Rencana kenaikan harga kedua BBM itu pun masih dalam pembahasan internal pemerintah.

Baca juga: Buruh Resah Harga BBM Naik, Sebut Efeknya Daya Beli Turun hingga Ancaman PHK

Faktor daya beli masyarakat

Ia menjelaskan, faktor pertama yang perlu diperhatikan adalah daya beli masyarakat. Sri Mulyani mengatakan, daya beli masyarakat untuk kelas menengah-atas saat ini menguat seiring dengan konsumsinya yang juga meningkat sepanjang kuartal II-2022.

Kondisi itu tentu bisa berbeda dengan 40 persen kelompok lapisan masyarakat terbawah yang daya belinya belum pulih sepenuhnya dari tekanan pandemi Covid-19. Sayangnya, konsumsi Pertalite sering kali tidak tepat sasaran karena malah banyak dinikmati oleh masyarakat kelas menengah-atas.

"Kalau yang menengah-atas itu yang memakan subsidi banyak, itu kan berarti yang 40 persen (kelompok terbawah) sudah daya belinya belum naik, sumber daya mereka tersedot oleh mereka yang daya belinya banyak dan konsumsi BBM banyak. Kan kayak begitu jadinya," jelasnya saat ditemui di Gedung DPR RI, Selasa (23/8/2022).

"Jadi kita harus memilih atau mencoba mencari (kebijakan yang tepat) supaya masyarakat yang 40 persen terbawah ini, yang memang menjadi fokus kita, harus ditolong," lanjut Sri Mulyani.

Baca juga: Estimasi Ekonom, Kenaikan Harga Pertalite-Solar Bisa Sumbang Inflasi 1,97 Persen

Faktor kepasitas APBN

Faktor kedua yang dipertimbangkan dalam penetapan harga BBM subsidi yakni kapasitas kemampuan APBN. Ia mengatakan, pemerintah telah menaikkan anggaran subsidi dan kompensasi BBM tiga kali lipat dari anggaran semula.

Saat ini anggaran subsidi dan kompensasi energi 2022 dipatok sebesar Rp 502,4 triliun. Nilai itu membengkak 229 persen atau sebesar Rp 349,9 triliun dari anggaran semula sebesar Rp 152,1 triliun.

Sri Mulyani mengakui, kemampuan negara menaikkan anggaran subsidi dan kompensasi energi itu memang dibantu adanya windfall profit dari kenaikan harga komoditas di pasar global. Utamanya disumbang dari komoditas batu bara, minyak sawit, dan nikel.

Namun, anggaran tersebut ternyata masih belum cukup dan negara berpotensi menambah anggaran sebesar Rp 198 triliun lagi untuk subsidi dan kompensasi energi. Penambahan ini diperlukan jika harga Pertalite dan Solar tak mengalami kenaikan.

Baca juga: Sri Mulyani: Jika Harga BBM Pertalite-Solar Tak Naik, Subsidi Energi Bisa Bengkak Lagi Rp 198 Triliun

Menurutnya, dampak dari alokasi anggaran subsidi dan kompensasi energi yang jumbo itu, jika tidak mampu dipenuhi pada tahun ini, maka pembayaran kepada Pertamina akan dimasukkan pada anggaran APBN 2023. Ini tentu akan membebani anggaran tahun depan yang sudah memiliki fokus tersendiri.

"Kalau kita tidak bisa membayar, maka akan meluncur ke 2023. Pada tahun 2022 ini saja masih membayar kompensasi 2021 sebesar Rp 104 triliun. Jadi ini kalau enggak selesai (lunas di tahun ini), nanti meluncur lagi ke 2023 yang sudah ada keperluan untuk pemilu dan segala macamnya. Jadi kita harus lihat APBN secara sangat teliti," paparnya.

Baca juga: Diisukan Naik Jadi Rp 10.000, Berapa Harga Asli Pertalite Tanpa Subsidi?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com