Dan, alasan pokok yang ketiga adalah faktor internal, yaitu gelembung anggaran subsidi BBM yang nyaris ‘pecah’.
Pemenerintah sepertinya sedang memikul beban subsidi BBM yang nyaris melampuai batas. Pasalnya, saat ini pemerintah harus membayarkan hingga Rp 502 triliun untuk memberikan subsidi BBM dan kompensasi energi bagi masyarakat.
Jika subsidi BBM bisa dipangkas, maka akan dana tersedia untuk menguatkan sektor pendidikan dan kesehatan, membangun infastruktur dan industri sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi, sekaligus memperluas lapangan pekerjaan.
Hari-hari belakangan ini niat pemerintah menaikkan harga BBM subsidi menjadi sorotan warga. Mereka menilai hal itu akan berdampak pada daya beli rumah tangga atau indeks harga konsumen (IHK), yang pada giliranya dapat melemahkan kondisi perekonomian nasional.
Apalagi masyarakat bawah, selama beberapa bulan terakhir sudah mengalami lonjakan harga bahan pangan karena berbagai alasan. Per Juli 2022, misalnya, inflasi bahan pangan hampir menyentuh 11 persen.
Bahkan, sejumlah ekonom memprediksi andaikata harga Pertalite juga ikut naik maka kelas menengah akan mengurangi belanja konsumtif.
Padahal, selama semester pertama 2022, konsumsi rumah tangga tercatat sebagai motor pertumbuhan ekonomi.
Dampak lanjutannya adalah permintaan di sektor industri manufaktur bisa terpuruk dan serapan tenaga kerja bisa terganggu.
Dengan asumsi seperti di atas, sejumlah ekonom mengatakan bahwa kenaikan harga BBM berpotensi menjerumuskan Indonesia ke dalam bahaya stagflasi.
Ekonom yang tergabung dalam tim Investiopedia menyebut stagflasi sebagai siklus ekonomi ditandai dengan pertumbuhan yang lambat dan tingkat pengangguran tinggi disertai dengan inflasi melesat naik.
Menurut mereka, biasanya pembuat kebijakan ekonomi menemukan bahwa kombinasi yang disebut stagflasi itu sangat sulit untuk ditangani, karena upaya untuk memperbaiki salah satu faktor dapat memperburuk faktor lainnya.
Dalam sejarah, stagflasi pernah dianggap mustahil oleh para ekonom. Namun, pada kenyataannya, stagflasi telah berulang kali terjadi di negara maju, seperti Amerika Serikat, sejak krisis minyak tahun 1970-an.
Bahkan, pada pertengahan 2022 ini, banyak ekonom yang mengatakan bahwa Amerika Serikat mungkin akan segera mengalaminya, setidaknya untuk waktu yang singkat.
Kita memang berharap bahwa ancaman stagflasi tidak sampai menimpa Indonesia juga. Namun, kita tak dapat menutup mata bahwa ancaman itu sudah benar-benar ada di hadapan kita, paling tidak dari sisi inflasi.
Sebab Biro Pusat Statistik menyebutkan bahwa inflasi Indonesia selama periode April hingga Juli 2022 berada di atas 3,40 persen, di mana Juli (4,94 persen), Juni (4,35 persen), Mei (3,55 persen) dan April (3,47 persen).
Angka tersebut jauh lebih tinggi dari periode April hingga Juli 2021 dimana Juli (1,52 persen), Juni (1,33), Mei (1,68 persen) dan April (1,42 persen).
Tingkat inflasi Juli 2022 merupakan yang tertinggi sejak Oktober 2015. Ini mencerminkan betapa telah terjadi lonjakan harga bahan makanan, bahan bakar rumah tangga dan tiket pesawat, serta kenaikan beberapa tarif listrik.
Oleh karena itu, sambil mengacu ke tren harga BBM sekarang, para analis memproyeksi bahwa inflasi Indonesia untuk kuartal ketiga dan keempat akan berkisar antara 5 dan 5,15 persen.
Dari sisi angka pengangguran ancaman memang belum cukup kentara. Sebab, menurut data BPS, penduduk yang bekerja sebanyak 135,61 juta orang, naik sebanyak 4,55 juta orang dari Februari 2021.
Lapangan pekerjaan yang mengalami peningkatan persentase terbesar adalah Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (0,37 persen poin).