Dalam MEA, salah satu bidang liberalisasi adalah sektor penerbangan. Liberalisasi ini disebut sebagai ASEAN Open Sky Policy (AOSP). Dalam AOSP, terdapat beberapa tahapan menuju liberalisasi penerbangan sempurna yang disebut asas cabotage.
Asas cabotage mengatur pesawat asing yang tergabung dalam AOSP diberi hak melakukan angkutan udara niaga domestik di bandara yang telah ditentukan oleh otoritas setempat di negara mitra dan kembali ke negara asal pesawat.
Kementerian Perhubungan Indonesia di era SBY telah menentukan lima bandara yang diperuntukan buat AOSP yaitu Bandara Soekearno-Hatta (Jakarta), Bandara Sultan Hasanudin (Maros), Bandara Juanda (Surabaya), Bandara I Gusti Ngurah Rai (Bali), dan Bandara Kuala Namu (Medan).
Sedangkan Malaysia hanya menentukan dua bandara, yakni Kuala Lumpur International Airport (Kuala Lumpur) dan Penang International Airport (Penang).
Dalam skema implementasinya, maskapai asing ditunjuk negara mitra, misalnya pemerintah Malaysia menunjuk Malaysia Airlines, dan pemerintah Singapura menunjuk Singapore Airlines. Maka, dua maskapai ini dapat melakukan penerbangan domestik di wilayah Indonesia. Contohnya, penerbangan dari Jakarta ke Bali, dan dari Bali ke Maros, dan seterusnya.
Sama halnya dengan maskapai yang ditunjuk oleh pemerintah Indonesia, misalnya Garuda Indonesia dan Lion Air dapat melakukan penerbangan domestik dari Kuala Lumpur ke Penang, dan sebaliknya.
Asas cabotage AOSP tidak diratifikasi rezim SBY demi melindungi pasar dalam negeri dari ekspansi maskapai asing. Kala itu, di era SBY, industri aviasi sedang berada pada masa kejayaan. Pertumbuhan penumpang pesawat udara sangat signifikan.
Pada tahun 1996, misalnya, sebelum krisis ekonomi Asia melanda Indonesia, penumpang pesawat udara hanya mencapai 13,5 juta, sedangkan pada tahun 2010 melonjak menjadi 31 juta orang.
Pada era itu terdapat 73 perusahaan penerbangan. Tiga belas di antaranya perusahaan niaga berjadwal, sisanya tidak berjadwal dan kargo.
Oleh karenanya wajar jika pemerintah SBY tidak meratifikasi kebijakan itu guna mengamankan pasar dalam negeri.
Bagaimana dengan situasi sekarang? Jika memang penyebab naiknya harga tiket dalam negeri karena kurangnya armada Garuda Indonesia, maka opsi meratifikasi asas cabotage bisa menjadi salah satu alternatif.
Dengan banyaknya pilihan yang dimiliki masyarakat, saya yakin, Garuda Indonesia Group dan Lion Air Group akan berpikir berulang kali untuk menaikan harga tiket penerbangan domestik.
Maskapai sekelas Malaysia Airlines saja (bintang 4 versi Skytrax) rela menawarkan harga murah untuk penumpang dari Indonesia ke Singapura.
Baca juga: Upaya Pemerintah Atasi Kenaikan Harga Tiket Pesawat, Terapkan Diskon hingga Block Seat
Bayangkan jika Malaysia Airlines melakukan angkutan penerbangan dari Jakarta ke Bali dengan harga setengah dari harga pasaran sekarang, yakni sekitar Rp 500.000, kita dapat pastikan masyarakat akan berbondong-bondong memilih Malaysia Airlines, dan industri pariwisata di Bali akan berterima kasih kepada Malaysia Airlines.
Keputusan meratifikasi atau menolak asas cabotage AOSP sepenuhnya berada di tangan pemerintah atas masukan berbagai pihak.
Jika pemerintah ingin menekan harga tiket pesawat maka opsi AOSP bisa menjadi salah satu solusi, dan penyertaan modal negara (PMN) senilai Rp 7,5 triliun untuk Garuda lebih baik dialihkan untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) atau telur ayam yang naik tertinggi sepanjang sejarah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.