Kemenhub sebelumnya memutuskan untuk mengundur penerapan tarif baru ojek online ke tanggal 29 Agustus 2022 atau 25 hari kalender sejak aturan KM 564 ditetapkan per tanggal 4 Agustus kemarin. Padahal, sebelumnya jangka waktu penerapan tarif yang ditetapkan ialah 10 hari.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Hendro Sugiatno saat itu menyampaikan keputusan pengunduran penerapan tarif menjadi 25 hari itu karena peninjauan kembali yang membutuhkan waktu lebih panjang untuk melakukan sosialisasi terhadap tarif baru ini bagi seluruh pemangku kepentingan, mengingat moda angkutan ojek online berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas.
Baca juga: 4 Cara Mengubah Alamat BPJS Kesehatan Online dan Offline
Sementara itu Analis kebijakan transportasi dan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) Azas Tigor Nainggolan mengatakan, keputusan Kementerian Perhubungan terkait kenaikan tarif ojol sebetulnya tidak menguntungkan pengemudi karena kenaikan tarif yang begitu besar.
"Kan dilihat dari kenaikan, per kilo itu naiknya Rp 1.000 ya, kalau begini akan terjadi penurunan permintaan dari masyarakat, tidak menguntungkan ojek online," ujarnya.
Tigor pun meminta peraturan Kemenhub tentang kenaikan tarif ojol tersebut ditinjau ulang. Sejumlah pihak, juga meminta kenaikan tidak melebih inflasi sehingga tidak memberatkan konsumen. Apalagi, daya beli konsumen belum pulih sepenuhnya.
Ekonom Indef Nailul Huda menilai, rencana kenaikan tarif ojol terkesan tidak melihat dari berbagai sisi, terutama dari aspek konsumen.
Baca juga: Kualitas BBM Malaysia Ungguli Pertalite dan Lebih Murah, Kok Bisa?
Disampaikan Nailul, bentuk industri dari transportasi online, termasuk ojek online, adalah multisided-market dimana ada banyak jenis konsumen yang "dilayani” oleh sebuah platform.
Bukan hanya dari sisi mitra driver saja, namun juga dari sisi konsumen akhir/penumpang dan pelaku UMKM (mitra penjual makanan-minuman).
"Perubahan cost dari sisi mitra driver akan mempengaruhi perubahan di sisi konsumen penumpang dan pelaku UMKM. Dari sisi konsumen penumpang sudah pasti ada penurunan permintaan, sesuai hukum ekonomi," kata Nailul Huda.
"Jika permintaan industri bersifat elastis, sudah pasti mitra driver yang akan rugi karena secara total pendapatan akan menurun. Maka hal ini kontradiktif dengan kesejahteraan mitra driver yang ingin dicapai dengan adanya perubahan ini," tambah dia.
Baca juga: Apa Saja Perbedaan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan?
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.