Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hiruk Pikuk Kenaikan Harga BBM yang Disebut Jokowi sebagai Pilihan Akhir di Situasi Sulit

Kompas.com - 05/09/2022, 09:34 WIB
Yohana Artha Uly,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah resmi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite, Solar, dan Pertamax per 3 September 2022. Kenaikan ini disebut sebagai pilihan terakhir pemerintah mengatasi tren kenaikan harga minyak global.

Adapun harga Pertalite kini ditetapkan menjadi Rp 10.000 per liter dari sebelumnya Rp 7.650 per liter. Lalu Solar subsidi menjadi Rp 6.800 per liter dari Rp 5.150 per liter, serta Pertamax menjadi menjadi Rp 14.500 per liter dari Rp 12.500 per liter.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, kenaikan harga BBM subsidi harus dilakukan mengingat gejolak yang terjadi pada harga minyak mentah dunia. Di sisi lain, BBM subsidi seperti Pertalite dan Solar ternyata 70 persen dinikmati oleh masyarakat mampu, sehingga tidak tepat sasaran.

Baca juga: Mengapa Jokowi Naikkan Harga BBM saat Harga Minyak Dunia Turun?

“Pemerintah telah berupaya sekuat tenaga untuk melindungi rakyat dari gejolak harga minyak dunia. Sebenarnya, pemerintah ingin harga minyak di dalam negeri tetap terjangkau dengan memberikan subsidi dari anggaran APBN,” kata Jokowi dalam konferensi pers, Sabtu (3/9/2022).

Ia menjelaskan, penyaluran subsidi BBM yang tidak tepat sasaran, sebelumnya membuat anggaran subsidi dan kompensasi dari APBN naik tiga kali lipat. Nilai itu akan naik terus jika pemerintah tidak segera mengambil keputusan tepat.

“Anggaran subsidi dan kompensasi BBM 2022 meningkat 3 kali lipat dari Rp 152,5 triliun menjadi Rp 502,4 triliun. Itu akan meningkat terus, dan lagi, dari 70 persen subsidi justru dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu, pemilik mobil pribadi,” ucapnya.

Jokowi mengungkapkan, seharusnya uang negara diprioritaskan untuk memberikan subsidi pada masyarakat yang kurang mampu. Oleh sebab itu, ia mengaku, pemerintah membuat keputusan sulit dan merupakan pilihat terakhir dari berbagai opsi, yakni dengan menaikkan harga BBM subsidi.

“Saat ini pemerintah harus membuat keputusan dalam situasi yang sulit. Ini adalah pilihan terakhir, yaitu dengan mengalihkan subsidi BBM sehingga beberapa BBM yang mendapat subsidi akan mengalami penyesuaian, dan sebagian subsidi akan dialihkan untuk bantuan yang tepat sasaran,” ungkap dia.

Bantuan tepat sasaran yang dimaksud Jokowi itu yakni, memberikan bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat miskin. Pemerintah menggelontokan tiga jenis bansos terbaru senilai Rp 24,17 triliun sebelum kenaikan harga BBM diumumkan.

Secara rinci, bansos itu terdiri dari bantuan langsung tunai (BLT) yang akan diberikan kepada 20,65 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dengan anggaran sebesar Rp 12,4 triliun. Setiap KPM akan menerima dana sebesar 150.000 sebanyak empat kali.

Lalu bantuan subsidi upah (BSU) yang dianggarkan sebanyak Rp 9,6 triliun yang akan diberikan ke 16 juta pekerja dengan maksimal Rp 3,5 juta per bulan. Nantinya, bantuan akan dibayarkan kepada setiap pekerja sebesar Rp 600.000.

Serta bantuan pada sektor angkutan umum dialokasikan sebesar Rp 2,17 triliun untuk pengemudi angkutan umum, ojek, dan nelayan. Anggaran untuk bantuan ini dialokasikan 2 persen dari dana transfer ke pemerintah daerah (pemda).

Alasan kenaikan harga BBM di tengah penurunan harga minyak mentah

Kendati disebut kenaikan harga BBM itu untuk merespons peningkatan harga minyak mentah, namun kondisi yang terjadi saat ini adalah harga minyak mentah dunia sedang dalam tren penurunan. Kebijakan itu menjadi dipertanyakan oleh masyarakat.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun menjelaskan, meski harga minyak mentah mengalami penurunan, rata-rata harga acuan minyak mentah nasional atau ICP relatif masih tinggi. Bahkan, jika harga ICP turun hingga ke level 90 dollar AS per barrel, rata-rata harga tahunan ICP masih berada pada kisaran 98,8 dollar AS per barrel.

"Atau kalaupun harga minyak turun sampai di bawah 90 dollar AS (per barrel), maka keseluruhan tahun rata-rata ICP masih di 97 dollar AS (per barrel)," kata dia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com