Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Kenaikan Harga BBM, Pengamat: Suka Tidak Suka Pil Pahit Ini Harus Dilakukan

Kompas.com - 06/09/2022, 20:40 WIB
Ade Miranti Karunia,
Akhdi Martin Pratama

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Keputusan pemerintah menaikkan harga BBM jenis Pertalite, Solar dan Pertamax menjadi sorotan publik. Banyak yang kurang setuju dengan langkah ini, salah satunya disebabkan karena ada potensi kenaikan inflasi.

Di sisi lain pemerintah kerap mengeluhkan beban subsidi yang terlampau besar.

Lantas, tepatkah langkah pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi?

Menurut Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan, kenaikkan harga BBM bersubsidi adalah suatu keharusan.

Baca juga: Harga BBM Naik, DPR: Pemerintah Jangan Hanya Fokus ke Bansos, Perhatikan juga Produktivitas Rakyat

"Menurut saya mau tidak mau suka tidak suka, ya pil pahit ini harus dilakukan. Harus diambil pil pahit ini. Memang enggak bisa dinikmati semua orang, tinggal pemerintah gimana caranya pil pahit itu enggak terlalu pahit, misalnya dengan BLT," katanya melalui keterangan tertulis, Selasa (6/9/2022).

Mamit menyebut langkah ini bisa menekan beban subsidi BBM yang nilainya besar, mencapai Rp 502 triliun. Jika harga BBM tidak segera disesuaikan, ada potensi beban subsidi naik menjadi hampir Rp 200 triliun. Apalagi, BBM Pertalite dan Solar diperkirakan habis pada Oktober tahun ini.

"Saat ini subsidi BBM mencapai Rp 500 triliun. Jika tidak ada penyesuaian harga, maka akan menambah Rp 190 triliun bahkan hampir Rp 200 triliun karena diperkirakan Pertalite dan Solar habis Oktober. Keuntungan untuk pemerintah ya mengurangi beban fiskal," katanya.

Pendapat dia, akan lebih baik jika subsidi BBM dialihkan ke sektor produktif lainnya. Sebab, subsidi BBM saat ini pun 80 persen tidak tepat sasaran. Dia juga mendorong adanya bantuan di sektor transportasi umum, UMKM, nelayan, petani, dan lainnya.

Baca juga: Demo Tolak Kenaikan Harga BBM, KSPI: Tidak Ada Anggota DPR yang Temui Buruh

Besarnya tekanan harga BBM terhadap keuangan negara bisa terjadi karena pemenuhan BBM dalam negeri saat ini sebagian besar dipenuhi dari minyak mentah impor.

Maklum saja, produksi minyak nasional terus mengalami penurunan. Bahkan, pada 2021, produksi minyak dan gas (migas) RI hanya mencapai 660.000 barel per hari. Jauh dari cukup untuk memenuhi konsumsi masyarakat yang mencapai lebih dari 1 juta barel per hari.

Dari situ, kata Mamit, cukup bisa dipahami berapa besar beban yang harus ditanggung pemerintah untuk mengimpor minyak mentah hingga mengolahnya menjadi bahan bakar seperti yang saat ini dikonsumsi masyarakat setiap harinya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad berpendapat, anggaran pemerintah tidak akan cukup mampu jika menahan subsidi BBM terlalu lama.

"Pertama pemerintah memberikan subsidi terlalu banyak sehingga kalau dibebankan, lama-kelamaan anggaran pemerintah enggak cukup mampu," kata Tauhid.

Apalagi kata Tauhid, tidak semua anggaran pemerintah terserap. Artinya ada kemungkinan keuangan pemerintah surplus dan masih ada sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa).

"Ketiga tidak semua anggaran terserap, ada kemungkinan surplus, ada kemungkinan adanya kita sebut Silpa, kemungkinan tahun ini masih ada Silpa. Belanja pemerintah di luar target masih rendah, masih di bawah target," pungkasnya.

Baca juga: Industri Asuransi Jiwa Bisa Kena Imbas Kenaikan Harga BBM

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com