Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sri Mulyani Sebut Jika AS dan Eropa Masuk Resesi, Harga Minyak Mentah Dunia Bisa Turun

Kompas.com - 07/09/2022, 19:30 WIB
Yohana Artha Uly,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Amerika Serikat (AS) dan kawasan Eropa memiliki potensi resesi yang sangat tinggi. Lantaran, keduanya memiliki tingkat inflasi yang tinggi akibat ketidakpastian ekonomi global.

"AS dan Eropa jelas menghadapi potensi resesi sangat tinggi, karena inflasi mereka sangat tinggi, 40 tahun tertinggi sekarang ini," ujar Sri Mulyani dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia, Rabu (7/9/2022).

AS mencatatkan inflasi sebesar 9,1 persen (year on year/yoy) pada Juni 2022, sementara di kawasan Eropa terdapat Inggris yang menjadi salah satu negara dengan inflasi tinggi yakni mencapai 10,1 persen (yoy) per Juli 2022. Tingkat inflasi kedua negara itu mencapai level tertinggi dalam 40 tahun.

Laju inflasi yang tinggi itu pun direspons oleh bank sentral di negara-negara maju dengan menaikkan suku bunga acuan dan mengetatkan likuiditas. Kebijakan moneter yang bertujuan menekan lonjakan inflasi itu, pada akhirnya akan berimbas pada pelemahan ekonomi.

"Tadinya kan kita lihat Bank Sentral AS dan Eropa menganggap bahwa inflasi ini temporer karena pandemi, tapi ada perang, dan sekarang minyak jadi instrumen perang," kata Sri Mulyani.

Baca juga: Sri Mulyani Tantang 100 Ekonom Hitung Proyeksi Harga Minyak Mentah 2023

Jika AS-Eropa resesi, harga minyak mentah dunia bisa turun

Lebih lanjut, jika negara-negara maju masuk ke jurang resesi, maka salah satu dampaknya adalah menurunkan harga minyak mentah dunia yang saat ini trennya bergerak di atas 100 dollar AS per barrel. Pada sisi ini, tentu menguntungkan karena harga minyak mentah menjadi lebih terkendali.

"Kalau seandainya negara-negara maju masuk resesi, pasti permintaan minyak turun, maka tekanan terhadap kenaikan harga diperkirakan atau diharapkan akan menurun. Harga mungkin akan turun, tidak lagi mencapai di atas 100 dollar AS per barrel," ungkap dia.

Meski demikian, yang tetap harus menjadi perhatian adalah perkembangan konflik antara Rusia dan Ukraina. Perang kedua negara ini sangat mempengaruhi pergerakan harga minyak mentah dunia.

Baca juga: Harga BBM Sudah Naik, Sri Mulyani Sebut Subsidi Energi Tetap akan Bengkak

Jika perang Rusia-Ukraina berlanjut, pasokan minyak mentah tetap terhambat

Jika perang Rusia-Ukraina terus berlanjut maka pasokan minyak mentah di pasar global akan tetap terganggu. Lantaran, negara-negara barat telah mengembargo minyak mentah Rusia sebagai sanksi atas invasi yang dilakukan negara itu ke Ukraina.

Sri Mulyani menilai, komoditas energi saat ini sudah menjadi instrumen perang, sehingga pergerakan harganya sulit terprediksi. Terlebih menurut hasil pertemuan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan kedua pimpinan negara itu, tidak ada kepastian kapan perang akan berakhir.

"Kita melihat minyak menjadi instrumen perang. Masing-masing menggunakannya. Putin menggunakan suplai gas ke Eropa, diberhentikan. Lalu Pihak G7 dan NATO mengembargo minyak dari Rusia," pungkas Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.

Potensi resesi di AS 40 persen, Eropa 55 persen

Sebagai informasi, menurut survei Bloomberg tentang probabilitas negara mengalami resesi, AS dan Eropa memang memiliki potensi resesi yang tinggi. Tingkat probabilitas resesi AS sebesar 40 persen dan Eropa sebesar 55 persen.

Adapun dalam survei itu Indonesia memiliki potensi resesi yang cukup rendah yakni hanya sebesar 3 persen. Lebih rendah dari negara tetangga, seperti Filipina sebesar 8 persen, Thailand 10 persen, Vietnam 10 persen, dan Malaysia 13 persen.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com