Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

EBT dengan Kapasitas Fleksibel Dinilai Mampu Pangkas 20 Persen Biaya Listrik

Kompas.com - 15/09/2022, 20:15 WIB
Ade Miranti Karunia,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Wartsila Energy mengungkap bahwa sistem energi baru terbarukan (EBT) yang didukung oleh mesin penyeimbang jaringan listrik dan penyimpanan energi bisa membuat Indonesia mencapai netralitas karbon pada 2060.

Direktur Sales Indonesia Wartsila Energy Febron Siregar mengatakan, hal itu akan memangkas biaya listrik rata-rata lebih dari 20 persen saat menghitung potensi pajak karbon di masa depan.

Dengan kebutuhan listrik Indonesia yang naik 4 persen per tahun, Wartsila menunjukkan bahwa sistem energi terbarukan yang didukung kapasitas fleksibel dapat menjawab tantangan tersebut tanpa menambah biaya produksi listrik.

Baca juga: Modernisasi Fasilitas, Rumah Sakit Pusat Pertamina Serah Terima Gedung Baru

“Hasil studi terkait jelas menunjukkan bahwa peluang mengubah kehidupan sebuah generasi dapat diraih oleh para pemangku kepentingan di sektor energi. Di Indonesia, energi terbarukan dapat ditingkatkan dengan menggunakan kapasitas fleksibel untuk mengatasi beban saat ini, sekaligus mudah memenuhi permintaan daya listrik yang meningkat, serta dekarbonisasi dengan biaya terendah," katanya di Jakarta, Kamis (15/9/2022).

Secara keseluruhan, Wartsila menyusun empat skenario transisi energi di Indonesia pada 2060. Pertama, skenario Business As Usual yang tidak memiliki batasan emisi. Pulau Sulawesi akan melepaskan 12,5 juta ton emisi karbondioksida pada tahun tersebut yang membuat target netralitas karbon semakin sulit dicapai.

Selanjutnya, ada skenario pengurangan emisi 50-80 persen jika dibandingkan dengan skenario Business As Usual. Adapun yang terakhir adalah skenario netralitas karbon yakni sistem energi yang diproyeksikan beroperasi dengan netralitas karbon pada 2060.

"Dekarbonisasi adalah proses bertahun-tahun yang menuntut perencanaan matang, namun target Indonesia menuju ekonomi netralitas karbon dapat dilakukan jika sektor energi sigap mengambil tindakan yang diperlukan saat ini dan beberapa dekade mendatang untuk mewujudkan masa depan netralitas karbon pada tahun 2060," lanjut Febron.

Baca juga: Amartha Luncurkan Layanan Pengukuran Profil Risiko Ascore.ai

Sulawesi contoh transisi energi Indonesia

Lebih lanjut kata Febron, keempat skenario yang dirancang Wartsila menggarisbawahi bahwa teknologi fleksibilitas yang meliputi penyimpanan energi dan mesin penyeimbang merupakan inovasi penting untuk membuat  energi terbarukan menjadi sumber energi yang dominan.

Sementara untuk mencapai netralitas karbon di Pulau Sulawesi pada tahun 2060, diperlukan penyeimbangan jaringan listrik oleh fleksibilitas mesin-mesin berdaya 800 Megawatt (Mw) serta penyimpanan energi dengan daya yang sama pada 2035.

Angka tersebut 63 persen lebih tinggi dari mesin baru berkapasitas 490 Mw yang dialokasikan ke Pulau Sulawesi sebagai bagian dari Rencana Upaya Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) nasional pada tahun 2030.

“Dengan beralih ke sistem energi terbarukan yang fleksibel pada tahun 2060, Indonesia dapat melakukan lebih dari sekadar mengurangi emisi. Ini dapat mengubah sektor energi sehingga bisa melayani ribuan pulau dengan lebih baik sambil memastikan bahwa setiap orang memiliki akses ke listrik yang ramah lingkungan dan andal. Namun, para pemangku kepentingan perlu merencanakan perubahan transformatif dalam lima hingga delapan tahun ke depan atau peluang akan tertutup," jelasnya.

Baca juga: Reksa Dana Avrist IDX30 Diminati Investor Milenial

Febron mengatakan Indonesia berencana memulai produksi hidrogen hijau pada tahun 2031, dengan target kapasitas mesin elektrolisis sebesar 52 Gigawatt pada 2060. Dalam pemodelan sistem energi terbarukan tingkat tinggi Pulau Sulawesi akan mendapati kondisi kelebihan daya yang sesuai untuk produksi bahan bakar berkelanjutan, seperti hidrogen hijau.

Dalam skenario netralitas karbon, sambung Febron, melalui pembangunan pembangkit tenaga surya sebesar 28,53 GW, Pulau Sulawesi dapat menghasilkan 2,7 GW hidrogen hijau pada 2060. Hasil tersebut akan digunakan secara optimal sebagai bahan bakar mesin penyeimbang jaringan listrik mulai tahun 2045.

Selain penggunaannya di sektor ketenagalistrikan, bahan bakar berbasis hidrogen juga diniai dapat membantu dekarbonisasi pada sektor padat energi lainnya di Indonesia, salah satunya transportasi.

“Dengan menciptakan sistem energi yang terbarukan dan terukur, Indonesia dapat menghadapi era kenormalan baru terkait volatilitas bahan bakar fosil dan kendala emisi, sekaligus menciptakan pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, dan kesejahteraan di masa depan," pungkas dia.

Baca juga: Saham Bank Mandiri Sentuh Level Tertinggi Sepanjang Sejarah, Ini Penyebabnya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com