Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bank Dunia: Kenaikan Suku Bunga Global Berpotensi Membuat Terjadinya Resesi pada 2023

Kompas.com - 16/09/2022, 13:25 WIB
Yohana Artha Uly,
Akhdi Martin Pratama

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Bank Dunia (World Bank) memproyeksi, ekonomi global berpotensi mengalami resesi pada 2023 seiring dengan langkah banyak bank sentral di seluruh dunia yang secara bersamaan menaikkan suku bunga acuannya, sebagai respons terhadap lonjakan inflasi.

Proyeksi itu menurut sebuah studi terbaru yang dilakukan Bank Dunia. Pada studi itu, kebijakan pengetatan moneter oleh bank-bank sentral itu akan berimplikasi pada krisis di pasar keuangan dan ekonomi negara berkembang.

Presiden Grup Bank Dunia David Malpass mengatakan bank-bank sentral di seluruh dunia telah menaikkan suku bunga pada tahun ini dengan tingkat sinkronisitas yang belum pernah terjadi selama lima dekade terakhir. Tren kenaikan suku bunga ini bahkan diproyeksi masih akan berlanjut hingga tahun depan.

Baca juga: Sri Mulyani Sebut Jika AS dan Eropa Masuk Resesi, Harga Minyak Mentah Dunia Bisa Turun

"Kenaikan suku bunga saat ini dan tindakan kebijakan lainnya mungkin tidak cukup untuk membawa inflasi global kembali ke tingkat sebelum pandemi. Karena investor mengharapkan bank sentral menaikkan suku bunga kebijakan moneter global mencapai hampir 4 persen hingga 2023, peningkatan lebih dari 2 persen di atas rata-rata tingkat bunga pada 2021," ungkapnya dalam keterangan tertulis, Jumat (16/9/2022).

Menurut studi Bank Dunia, kenaikan suku bunga bank-bank sentral dapat membuat tingkat inflasi inti global mencapai sekitar 5 persen pada 2023 atau naik hampir dua kali lipat dari rata-rata lima tahun sebelum pandemi. Perkiraan tingkat inflasi itu tanpa memperhitungkan kenaikan harga energi, dan dengan kondisi gangguan pasokan dan tekanan pasar tenaga kerja yang mereda.

Studi itu memperkirakan, untuk memangkas inflasi global ke tingkat yang konsisten sesuai dengan target, bank sentral mungkin perlu menaikkan suku bunga dengan tambahan 2 persen. Jika ini disertai dengan tekanan pasar keuangan, pertumbuhan PDB global akan melambat menjadi 0,5 persen pada 2023, terkontraksi 0,4 persen per kapita, yang akan memenuhi definisi teknis dari resesi global.

"Pertumbuhan global melambat tajam, dengan kemungkinan perlambatan lebih lanjut karena lebih banyak negara jatuh ke dalam resesi. Kekhawatiran mendalam saya adalah bahwa tren ini akan bertahan, dengan konsekuensi jangka panjang yang menghancurkan orang-orang di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang,” ujar Malpass.

Baca juga: Bahlil: Jangan Percaya Isu Ekonomi Indonesia di Ujung Resesi, Itu Hoaks Besar

Dengan demikian, untuk mencapai tingkat inflasi yang rendah maka stabilitas mata uang dan pertumbuhan yang lebih cepat diperlukan. Ia pun menyarankan para pembuat kebijakan dapat mengalihkan fokusnya dari mengurangi konsumsi ke meningkatkan produksi.

"Kebijakan harus berusaha untuk menghasilkan investasi tambahan dan meningkatkan produktivitas dan alokasi modal, yang sangat penting untuk pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan,” tegasnya.

Studi Bank Dunia menyoroti keadaan luar biasa yang terjadi saat ini, di mana bank sentral tengah memerangi inflasi. Perekonomian global saat ini mengalami perlambatan paling tajam setelah pemulihan pasca-resesi sejak tahun 1970.

Kepercayaan konsumen global telah mengalami penurunan yang jauh lebih tajam daripada menjelang resesi global sebelumnya.

Kini tiga ekonomi terbesar dunia yakni Amerika Serikat, China, dan kawasan Euro telah melambat tajam. Dalam keadaan seperti itu, bahkan pukulan moderat terhadap ekonomi global selama tahun depan dapat membawa ke dalam resesi.

Baca juga: Ekonomi Tumbuh 5,44 Persen, Indonesia Aman dari Resesi?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

LKPP: Nilai Transaksi Pemerintah di e-Katalog Capai Rp 196,7 Triliun Sepanjang 2023

Whats New
?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

?[POPULER MONEY] Kasus Korupsi Timah Seret Harvey Moeis | Pakaian Bekas Impor Marak Lagi

Whats New
Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com