Sejalan dengan perintah UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) dan ambisi pemerintah mendorong investasi hilir, Vale Indonesia sedang merancang beberapa proyek jumbo.
Di Sorowako Vale sedang mendorong proyek HPAL untuk memproduksi 184,000 ton nickel-cobalt hydroxide. Di Pomala (Sulawesi Tenggara), Vale mendorong proyek MSP untuk memproduksi 70.000 ton MSP (setara dengan 60,000 ton nikel metal per tahun).
Sementara di Bahodopi (Sulawesi Tengah), Vale sedang mendorong pembangunan pabrik smelter feronikel (FeNi) yang akan memproduksi 60,256 ton FeNi (setara 73,000 nikel metal per tahun).
Itu adalah proyek jumbo yang tentu membutuhkan kepastian hukum, berupa perpanjangan kontrak dari pemerintah. Jika proyek-proyek itu berjalan, investasi di tiga daerah itu akan meningkat, lapangan kerja bertambah, dan industri di daerah berkembang pesat.
Apalagi nikel adalah bahan baku pembangunan baterai untuk mobil listrik dan stainless steel.
Dengan mencermati betapa besar dan strategisnya proyek-proyek Vale di atas, sejujurnya, saya tidak percaya jika tambang nikel Vale Indonesia akan diserahkan ke tiga pemerintah provinsi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara).
Tambang Vale adalah salah satu tambang yang berkontribusi besar untuk penerimaan negara. Untuk tahun 2021 saja, kontribusi Vale untuk pajak ke negara mencapai 142,9 juta dolar atau setara Rp 2 triliun.
Pajak untuk daerah juga begitu besar kontribusinya. Tahun 2021, pembayaran pajak ke Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 9,9 juta dolar (atau Rp 148 miliar) dan ke Kabupaten Luwu Timur (daerah operasi) mencapai 13,6 juta dolar (atau Rp 203,3 miliar).
Dari sisi penerimaan negara, kontribusi Vale untuk nasional dan daerah sangatlah besar. Belum ditambah dengan praktek-praktek pertambangan yang baik yang tidak bisa dijelaskan satu per satu dalam tulisan pendek ini.
Pada intinya, tambang kita sah-sah saja dikelolah perusahaan asing, asalkan menerapkan praktik pertambangan baik, bermanfaat untuk rakyat, dan mengikuti aturan undang-undang pertambangan Republik Indonesia.
Tak ada jaminan bahwa pertambangan kita akan baik atau jauh lebih baik dan bermanfaat bagi kepentingan rakyat jika dikelola perusahaan domestik dan apalagi perusahaan daerah (BUMD).
Saya belum pernah melihat ada perusahaan BUMD bentukan pemerintah provinsi dan kabupaten bidang tambang di Republik ini yang bereputasi baik. Yang ada, perusahaan-perusahaan daerah menjadi perusahaan yang paling tidak kompetitif dan tak sanggung menerapkan best practice mining.
Hal yang sama terjadi dengan tiga provinsi yang menuntut kontrak Vale tak diperpanjang dan meminta mengontrol penuh saham Vale.
Jika ingin mengontrol sepenuhnya saham Vale, apakah pemerintah provinsi memilik dana besar untuk membeli sekitar 80 persen saham Vale yang belum diserahkan ke pihak domestik?
Sekedar rujukan saja, harga 20 persen saham Vale ketika dibeli perusahaan tambang BUMN, MIND ID, saja di atas Rp 7 triliun. Hitung saja berapa valuasi saham Vale sebesar 80 persen jika diserahkan ke pemerintah provinsi.
Apakah pemerintah provinsi memiliki dana sebesar itu? Jangan-jangan pemerintah provinsi ingin bermitra dengan perusahaan swasta nasional. Hanya caranya saja mereka menekan melalui jalur politik dan ujungnya-ujungnya, pengusaha domestik juga yang mengontrol.
Pertanyaan lebih jauh untuk tiga gubernur di atas, mengapa tak mengelola konsensi nikel yang kaya raya di daerah mereka masing-masing dengan baik agar daerah mendapat keuntungan besar. Jika dikelola secara profesional, saya kira potensi tambang nikel di tiga provinsi ini sangat menjanjikan dan membuat daerah menjadi makmur dan kaya.
Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara adalah daerah penghasil nikel terbesar di negeri ini. Banyak raja-raja nikel dunia masuk ke tiga daerah ini melalui pintu bupati dan gubernur.
Baca juga: Jamin Suplai Nikel Tercukupi, Vale Gandeng Ford dan Huayou
Ambil contoh kasus PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP/Tiongkok), Tshingsan (Tiongkok), sampai Eremet (Prancis) yang menguasai sektor hilir nikel saat ini. Mengapa konsensi nikel di Sulawesi Tengah, misalnya, kebanyakan jatuh ke tangan perusahaan-perusahaan Tiongkok dan pengusaha domestik nasional, seperti Bintang Delapan Group, Idris Nickel, Harita Group dan Blacspace?