Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ferdy Hasiman
Peneliti

Peneliti di Alpha Research Database. Menulis Buku Freeport: Bisnis Orang Kuat Vs Kedaulatan Negara, Gramedia 2019. dan Monster Tambang, JPIC-OFM 2013.

Vale Indonesia Dalam Tekanan Politik DPR dan Tiga Gubernur

Kompas.com - 19/09/2022, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

RAKSASA tambang nikel asal Brasil yang menambang di Sorowako (Sulawesi Selatan), Pomala (Sulawesi Tenggara), dan Bahodopi (Sulawesi Tengah), yaitu PT Vale Indonesia (dengan kode emiten INCO) sedang berada dalam tekanan politik.

Setelah mendesak pemerintah untuk tidak memperpanjang Kontrak Karya Vale Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini membentuk panitia kerja (panja). Pembentukan panja bertujuan “mengevaluasi” Kontrak Karya Vale Indonesia yang sudah beroperasi di Indonesia selama 54 tahun sejak tahun 1968 di bawah zaman pemerintahan Soeharto.

Kontrak Karya Vale Indonesia akan berakhir pada Agustus 2025 atau satu tahun setelah pemilihan umum. Rezim pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) mestinya tak bertanggung jawab atas keputusan perpanjang kontrak atau tidak.

Baca juga: 3 Gubernur di Sulawesi Tolak Perpanjang Kontrak Karya Vale, Alasannya Kurang Kontribusi

Namun, undang-Undang (UU) mengatakan, pemerintah wajib memutuskan sebuah kontrak karya dua tahun sebelum akhir masa kontrak. Itu artinya, Kontrak Karya Vale Indonesia wajib diputuskan tahun 2023 atau masih dalam masa pemerintahan Jokowi.

Itulah sebabnya, DPR Komisi VII mulai membentuk panja.

Berdasarkan pengamatan penulis, dalam panja, DPR banyak mempertanyakan soal isu perpanjangan kontrak, pengalihan saham ke pihak nasional, penerimaan negara, pembangunan smelter, sampai pada kontribusi Vale Indonesia untuk daerah.

Yang lebih menarik adalah DPR telah menghadirkan tiga gubernur di wilayah kerja Vale Indonesia, seperti gubernur Sulawesi Selatan, Gubernur Sulawesi Tenggara, dan Gubernur Sulawesi Tengah.

Di hadapan DPR, tiga gubernur menuntut agar konsensi Vale saat ini tak diperpanjang dan sahamnya diserahkan ke pemerintah daerah.

Saya sangat tergelitik mendengar dan membaca pernyataan tiga gubernur dan wakil rakyat kita yang dengan entengnya mengatakan bahwa tambang nikel Vale Indonesia tak diperpanjang dan diserahkan ke pemerintah daerah saja.

Dalam tulisan ini, saya mencoba fokus ke permintaan tiga gubernur dan beberapa anggota DPR agar tambang Vale dikelolah tiga pemerintah provinsi di atas.

Vale tak layak dikontrol daerah

Vale Indonesia adalah perusahaan asing yang pemegang sahamnya adalah pemain global yaitu Vale Canada Limited (44,3 persen), Sumitomo Metal Mining (15 persen), dan perusahaan tambang BUMN, MIND ID (20 persen).

Pada tahun 2021, aset Vale Indonesia mencapai 2,4 miliar dollas AS (atau 37,1 triliun dengan nilai kurs saat ini) dengan konsensi seluas 118,017 hektar dan cadangan sebesar 104 juta ton.

Konsensi Vale menyebar dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah sampai Sulawesi Tenggara. Di Sulawesi Selatan, Vale mengontrol konsensi nikel di Sorowako sejak zaman Orde Baru.

Vale adalah salah satu perusahaan tambang yang telah menerapkan best practice mining, karena sejak beroperasi di Sorowako perusahaan itu telah membangun pabrik smelter dengan kapasitas 72,000 ton nickel in matte per tahun.

Hal itu tentu menarik karena sejak zaman Orde Baru paradigma tambang Indonesia adalah ekstraktif, menjual mineral dalam bentuk mentah dengan harga murah yang jelas merugikan negara dan tak memiliki multiplier effect untuk pembangunan nasional dan daerah.

Baca juga: RDP di DPR RI, Gubernur Andi Siap Ambil Alih Lahan PT Vale untuk Kesejahteraan Rakyat Sulsel

Tanpa perintah UU pertambangan pun, Vale Indonesia sudah memiliki visi tentang masa depan industri nikel di Tanah Air. Vale sebenarnya telah lama mengajarkan pemerintah Indonesia dan penambang-penambang di Indonesia membangun proyek hilir (smelter) agar memberi efek pelipatan bagi pembangunan nasional dan daerah.

Dengan investasi yang begitu besar, tak mengherankan jika perusahaan itu termasuk salah satu perusahaan nikel yang paling profitable di Tanah Air. Rata-rata produksi Vale setiap tahun di angka 65,388-72,000 ton nickle in matte (nikel 78 persen, cobalt 1-2 persen, dan sulphur 20-21 persen).

Sejalan dengan produksi yang besar, Vale mampu mengumpulkan pendapatan sebesar 235 juta dolar per tahun 2022 dan laba sebesar 67,6 juta dolar.

Dengan cadangan dan pendapatan besar, Vale menjadi salah satu raja tambang terbesar di Indonesia dan berkontribusi secara nasional sebesar 19 persen, di belakang perusahaan Tiongkok, PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), yang menguasai 50 persen produksi hilir.

Sejalan dengan perintah UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) dan ambisi pemerintah mendorong investasi hilir, Vale Indonesia sedang merancang beberapa proyek jumbo.

Di Sorowako Vale sedang mendorong proyek HPAL untuk memproduksi 184,000 ton nickel-cobalt hydroxide. Di Pomala (Sulawesi Tenggara), Vale mendorong proyek MSP untuk memproduksi 70.000 ton MSP (setara dengan 60,000 ton nikel metal per tahun).

Sementara di Bahodopi (Sulawesi Tengah), Vale sedang mendorong pembangunan pabrik smelter feronikel (FeNi) yang akan memproduksi 60,256 ton FeNi (setara 73,000 nikel metal per tahun).

Itu adalah proyek jumbo yang tentu membutuhkan kepastian hukum, berupa perpanjangan kontrak dari pemerintah. Jika proyek-proyek itu berjalan, investasi di tiga daerah itu akan meningkat, lapangan kerja bertambah, dan industri di daerah berkembang pesat.

Apalagi nikel adalah bahan baku pembangunan baterai untuk mobil listrik dan stainless steel.

Dengan mencermati betapa besar dan strategisnya proyek-proyek Vale di atas, sejujurnya, saya tidak percaya jika tambang nikel Vale Indonesia akan diserahkan ke tiga pemerintah provinsi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara).

Tambang Vale adalah salah satu tambang yang berkontribusi besar untuk penerimaan negara. Untuk tahun 2021 saja, kontribusi Vale untuk pajak ke negara mencapai 142,9 juta dolar atau setara Rp 2 triliun.

Pajak untuk daerah juga begitu besar kontribusinya. Tahun 2021, pembayaran pajak ke Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 9,9 juta dolar (atau Rp 148 miliar) dan ke Kabupaten Luwu Timur (daerah operasi) mencapai 13,6 juta dolar (atau Rp 203,3 miliar).

Dari sisi penerimaan negara, kontribusi Vale untuk nasional dan daerah sangatlah besar. Belum ditambah dengan praktek-praktek pertambangan yang baik yang tidak bisa dijelaskan satu per satu dalam tulisan pendek ini.

Pada intinya, tambang kita sah-sah saja dikelolah perusahaan asing, asalkan menerapkan praktik pertambangan baik, bermanfaat untuk rakyat, dan mengikuti aturan undang-undang pertambangan Republik Indonesia.

Tak ada jaminan bahwa pertambangan kita akan baik atau jauh lebih baik dan bermanfaat bagi kepentingan rakyat jika dikelola perusahaan domestik dan apalagi perusahaan daerah (BUMD).

Saya belum pernah melihat ada perusahaan BUMD bentukan pemerintah provinsi dan kabupaten bidang tambang di Republik ini yang bereputasi baik. Yang ada, perusahaan-perusahaan daerah menjadi perusahaan yang paling tidak kompetitif dan tak sanggung menerapkan best practice mining.

Hal yang sama terjadi dengan tiga provinsi yang menuntut kontrak Vale tak diperpanjang dan meminta mengontrol penuh saham Vale.

Jika ingin mengontrol sepenuhnya saham Vale, apakah pemerintah provinsi memilik dana besar untuk membeli sekitar 80 persen saham Vale yang belum diserahkan ke pihak domestik?

Sekedar rujukan saja, harga 20 persen saham Vale ketika dibeli perusahaan tambang BUMN, MIND ID, saja di atas Rp 7 triliun. Hitung saja berapa valuasi saham Vale sebesar 80 persen jika diserahkan ke pemerintah provinsi.

Apakah pemerintah provinsi memiliki dana sebesar itu? Jangan-jangan pemerintah provinsi ingin bermitra dengan perusahaan swasta nasional. Hanya caranya saja mereka menekan melalui jalur politik dan ujungnya-ujungnya, pengusaha domestik juga yang mengontrol.

Pertanyaan lebih jauh untuk tiga gubernur di atas, mengapa tak mengelola konsensi nikel yang kaya raya di daerah mereka masing-masing dengan baik agar daerah mendapat keuntungan besar. Jika dikelola secara profesional, saya kira potensi tambang nikel di tiga provinsi ini sangat menjanjikan dan membuat daerah menjadi makmur dan kaya.

Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara adalah daerah penghasil nikel terbesar di negeri ini. Banyak raja-raja nikel dunia masuk ke tiga daerah ini melalui pintu bupati dan gubernur.

Baca juga: Jamin Suplai Nikel Tercukupi, Vale Gandeng Ford dan Huayou

Ambil contoh kasus PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP/Tiongkok), Tshingsan (Tiongkok), sampai Eremet (Prancis) yang menguasai sektor hilir nikel saat ini. Mengapa konsensi nikel di Sulawesi Tengah, misalnya, kebanyakan jatuh ke tangan perusahaan-perusahaan Tiongkok dan pengusaha domestik nasional, seperti Bintang Delapan Group, Idris Nickel, Harita Group dan Blacspace?

Mengapa tambang nikel Lashampala (Sulawesi Tengah), bekas tambang Rio Tinto tak diambil pemerintah provinsi? Padahal, konsensi-konsensi nikel itu termasuk sangat potensial dari sisi cadangan nikel.

Mengapa juga gubernur Sulawesi tengah tak meminta kementerian ESDM, mengontrol beberapa konsensi tambang potensial yang diciutkan Vale di Blok Bahodopi Utara dan Matarape?

Dalam lelang blok Bahodopi dan Matarape, pemerintahan sebenarnya akan memprioritas daerah dan BUMN. Namun, sampai sekarang kedua blok nikel potensial ini belum diputuskan sama sekali. Jika pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah ingin mengelola tambang demi kesejahteraan daerah, mengapa tak mengelola dua blok nikel tersebut?

Di Sulawesi Tenggara juga sekitar 500.000 hektar lahan telah digadaikan hanya untuk konsensi tambang oleh bupati dan gubernur, menyebar mulai dari Buton, Bombana, Kola sampai Konawe Utara.

Di Kanowe Utara saja, total konsensi yang dikeluarkan bupati dan gubernur mencapai 100.100 hektar, belum termasuk yang ilegal (lihat: IUP Clear & Clean, Dirjen Minerba:2022). Begitupun di Sulawesi Tengah ada sekitar 600.000 hektar lahan sudah digadaikan untuk konsensi tambang oleh bupati dan gubernur, termasuk di Morowali 147 IUP dan Banggai 53 IUP (lihat: IUP Clear & Clean, Dirjen Minerba: 2022).

Jika tiga daerah itu ingin kaya dari hasil nikel, mengapa pemerintah daerah sangat royal mengeluarkan izin tambang nikel ke perusahaan-perusahaan Tiongkok dan swasta nasional. Sementara, BUMD tak mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar, seperti Bintang Delapan dan Central Omega.

Tanpa harus meminta saham Vale pun daerah-daerah ini mestinya kaya dari hasil tambang jika konsensi-konsensi nikel dikelola dengan baik.

Yang menjadi soal adalah, pemerintah daerah itu tak memiliki kemampuan mengelola sumber daya alam daerah, tak mau belajar dari perusahaan asing untuk melakukan transfer pengetahuan agar sanggup mengelola tambang daerah dengan baik.

Selain itu, pemerintah daerah tak memilik dana untuk berinvestasi di sektor hilir, seperti membangunan smelter feronikel yang sudah dibangun Vale di Sorowako dan akan dibangun di Pomala dan Bahodopi. Dana investasi membangun smelter tak kecil, di atas Rp 10 triliun.

Itu tentu dana yang sulit dicari pemerintah daerah. Pekerjaan paling gampang sekarang adalah menekan Vale sebagai satu-satunya perusahaan asing yang berkinerja baik di sektor nikel agar mendapat jatah saham dan mendapat jatah proyek untuk daerah.

Inilah ciri-ciri pemerintahan ekstraktif dalam kacamata Daron Acemoglu dan James A. Robertson. Pemerintah ekstraktif adalah pemerintah korup, tak jujur, tak becus mengelola daerah dan termasuk mengelola tambang daerah.

Mereka ingin yang gampangnya saja, mendapat saham Vale tanpa harus kerja keras agar "daerah" mendapat hasil. Tentu mereka tidak pernah berpikir untuk rakyat. Rakyat hanya dijadikan tameng perjuangan.

Buktinya, mereka tak sanggup mengubah nasib rakyat Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara dengan kekayaan yang begitu berlimpah. Mereka justru memberikan ratusan ribu konsensi tanpa memberikan manfaat apa-apa untuk rakyat daerah.

Opsi perpanjangan kontrak

Undang-Undang Minerba tak mengenal rezim kontrak karya. UU Minerba hanya mengenal Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Berdasarkan UU Minerba, pemerintah diberikan mandat untuk merenogisasi kembali kontrak lama yang terasa tak adil untuk negara. Artinya, kontrak karya harus dikonversi menjadi IUPK.

Saya kira Vale sudah mengoversi KK menjadi IUPK dengan syarat, kenaikan penerimaan negara, penciutan lahan, pembangunan smelter, penggunaan jasa domestik, divestasi saham 51 persen ke pihak domestik dan perpanjangan kontrak.

Baca juga: Penyebab Vale Indonesia Absen Bagikan Dividen Tahun Ini

Jika Vale telah memenuhi lima syarat, seperti kenaikan penerimaan negara, pembangunan smelter, divestasi dan penggunaan barang domestik, dia dia bisa diperpanjang. Saat ini, Vale sudah memenuhi semua kewajiban sesuai dengan perintah UU Minerba, terkecuali divestasi saham, karena baru 20 persen saham Vale yang diserahkan ke nasional (MIND ID).

Artinya, Vale wajib mendivestasikan 31 persen saham lagi ke pihak domestik. Jika semua syarat itu dipenuhi, tak ada ruginya bagi negara untuk memperpanjangan kontrak Vale Indonesia, karena ini perusahaan nikel yang memiliki kontribusi besar untuk negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com