Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Abdul Nasir
Dosen

Dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Jember

Suku Bunga dan Biduk Kebijakan Bank Indonesia

Kompas.com - 23/09/2022, 06:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TERJAWAB sudah spekulasi kenaikan kebijakan suku bunga acuan (BI-7 Day Reverse Repo Rate). Terkereknya tingkat inflasi domestik serta merta mengubah biduk kebijakan moneter Bank Indonesia.

Laju inflasi headline pada Juli yang sebesar 4,94 persen melampaui batas atas target BI. Inflasi inti yang menjadi acuan BI dalam penetapan suku bunga acuan relatif rendah sebesar 2,86 persen.

Hal itu menandakan daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih dari terpaan dampak pageblug COVID-19.

Namun, pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari perkiraan pada kuartal kedua mendorong BI untuk mengetatkan kebijakan moneter.

Berbagai faktor eksternal juga menjadi penentu penting. Sejak awal tahun ini, Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) telah menaikkan suku bunganya beberapa kali dengan besaran yang bervariasi.

The Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya pada 22 September 2022, sebesar 75 basis poin (bps) atau 0,75 persen menjadi 3,0-3,25 persen.

Pasar negara-negara berkembang, seperti India, Afrika Selatan, Malaysia, dan Filipina, telah menaikkan tingkat kebijakan moneter mereka.

Menekan modal asing yang masuk adalah alasan logis untuk menstabilkan nilai tukar mata uang domestik.

Kenaikan suku bunga kebijakan merupakan insentif tambahan bagi masuknya modal asing, yang pada gilirannya memperkuat cadangan devisa.

Kecukupan cadangan devisa memberikan rasa aman bagi pelaku pasar terhadap fluktuasi nilai tukar.

Selain itu, pemerintah telah menaikkan harga BBM bersubsidi. Kebijakan yang tidak populis tersebut diyakini dapat memicu laju inflasi.

Kenaikan suku bunga kebijakan diproyeksikan untuk menopang ekspektasi inflasi ke depan. Pada titik ini, BI telah melakukan normalisasi kebijakan moneter secara penuh.

Sebelumnya, BI telah melakukan normalisasi kebijakan moneter melalui pengetatan likuiditas.

Kebijakan pelonggaran kuantitatif yang diterapkan sejak awal pandemi COVID-19 dikurangi melalui peningkatan giro wajib minimum (GWM) secara progresif.

Karakteristik ini beda ari normalisasi kebijakan The Fed. Tingginya subsidi di AS diikuti oleh peningkatan permintaan agregat. Namun, tingginya permintaan tersebut tidak diimbangi dengan penawaran agregat.

Menurut hukum ekonomi pasar, harga agregat akan meningkat, yang secara luas dikenal sebagai inflasi.

Paparan di atas tampaknya mendekati kenyataan. Biro Statistik Tenaga Kerja AS mengumumkan bahwa inflasi di negara itu telah melonjak lagi, sebesar 9,1 persen pada Juli. Angka ini menumbangkan rekor pada Mei 1981, menjadikannya rekor tertinggi.

Adapun inflasi AS pada Agustus sebesar 8,3 persen.

Oleh karena itu, The Fed menggunakan kenaikan suku bunga kebijakan untuk mengelola permintaan agregat.

Kenaikan suku bunga mendorong masyarakat untuk menyimpan uangnya di bank guna memperoleh imbal hasil yang lebih tinggi di masa yang akan datang. Oleh karena itu, peningkatan permintaan dapat dikendalikan.

Sementara itu, fenomena inflasi di Indonesia disebabkan oleh gangguan rantai pasok. Pasokan agregat menurun karena perubahan cuaca, distribusi, dan tingginya harga barang impor.

Akibatnya, kenaikan suku bunga kebijakan diklaim tidak akan banyak berdampak pada pengendalian inflasi.

Perbedaan karakter di atas mengingatkan kita pada perdebatan panjang antara paradigma Keynesian dan aliran klasik.

Aliran Keynesian menganggap kebijakan suku bunga akan memengaruhi aktivitas ekonomi sektor riil.

Aliran klasik, di sisi lain, berpendapat bahwa ada dikotomi antara sektor riil dan sektor moneter.

Kekhawatiran akan dikotomi tersebut mendasari pergeseran dari BI rate ke 7-day reverse-repo rate sebagai policy rate.

Ketika BI rate diterapkan, terjadi ketidaksinkronan antara pergerakan suku bunga kebijakan dan inflasi. Mekanisme transmisi kebijakan moneter ke sektor riil menjadi sulit.

Jadi, kenaikan suku bunga kebijakan akan terus berdampak pada pengendalian inflasi jika dibarengi dengan stabilitas nilai tukar. Nilai tukar yang stabil akan meminimalkan dampak inflasi impor.

Dalam situasi ini, BI harus berhati-hati dalam optimalisasi bauran kebijakan melalui operasi moneternya.

Pembagian beban dengan pemerintah berdampak pada kelebihan BI dalam memegang Surat Berharga Negara (SBN).

Seiring kenaikan suku bunga kebijakan, pelepasan kepemilikan SBN untuk tenor jangka pendek di pasar sekunder menjadi sarana untuk mempertahankan imbal hasil yang menarik.

Akibatnya, investasi portofolio asing masuk sehingga memperkuat nilai tukar. Pun pembelian SBN oleh BI dari pasar sekunder untuk tenor jangka panjang setidaknya akan menahan kecenderungan kenaikan imbal hasil SBN jangka panjang, atau bahkan menurunkannya.

Intinya, waktu dan ukuran operasi moneter memainkan peran penting dalam membentuk ekspektasi di pasar SBN.

Akumulasi impaknya adalah nilai tukar akan stabil dan tingkat inflasi dalam jangka pendek-menengah akan kembali turun ke target 3 persen plus-minus 1 persen.

Akhirnya, penurunan imbal hasil SBN jangka panjang akan mendukung pemulihan ekonomi nasional. Bahkan mengurangi beban fiskal dalam pembiayaan APBN.

Kesimpulannya, kenaikan suku bunga kebijakan tidak serta merta mengganggu pertumbuhan ekonomi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ada Gejolak Global, Erick Thohir Telepon Direksi BUMN, Minta Susun Strategi

Ada Gejolak Global, Erick Thohir Telepon Direksi BUMN, Minta Susun Strategi

Whats New
Inflasi Medis Kerek Harga Premi Asuransi Kesehatan hingga 20 Persen

Inflasi Medis Kerek Harga Premi Asuransi Kesehatan hingga 20 Persen

Whats New
Pemerintah Perlu Tinjau Ulang Anggaran Belanja di Tengah Konflik Iran-Israel

Pemerintah Perlu Tinjau Ulang Anggaran Belanja di Tengah Konflik Iran-Israel

Whats New
Ekspor Batik Aromaterapi Tingkatkan Kesejahteraan Perajin Perempuan Madura

Ekspor Batik Aromaterapi Tingkatkan Kesejahteraan Perajin Perempuan Madura

Whats New
Hadiri Halalbihalal Kementan, Mentan Amran: Kami Cinta Pertanian Indonesia

Hadiri Halalbihalal Kementan, Mentan Amran: Kami Cinta Pertanian Indonesia

Whats New
Pasar Modal adalah Apa? Ini Pengertian, Fungsi, dan Jenisnya

Pasar Modal adalah Apa? Ini Pengertian, Fungsi, dan Jenisnya

Work Smart
Syarat Gadai BPKB Motor di Pegadaian Beserta Prosedurnya, Bisa Online

Syarat Gadai BPKB Motor di Pegadaian Beserta Prosedurnya, Bisa Online

Earn Smart
Erick Thohir Safari ke Qatar, Cari Investor Potensial untuk BSI

Erick Thohir Safari ke Qatar, Cari Investor Potensial untuk BSI

Whats New
Langkah Bijak Menghadapi Halving Bitcoin

Langkah Bijak Menghadapi Halving Bitcoin

Earn Smart
Cara Meminjam Dana KUR Pegadaian, Syarat, dan Bunganya

Cara Meminjam Dana KUR Pegadaian, Syarat, dan Bunganya

Earn Smart
Ada Konflik Iran-Israel, Penjualan Asuransi Bisa Terganggu

Ada Konflik Iran-Israel, Penjualan Asuransi Bisa Terganggu

Whats New
Masih Dibuka, Simak Syarat dan Cara Daftar Kartu Prakerja Gelombang 66

Masih Dibuka, Simak Syarat dan Cara Daftar Kartu Prakerja Gelombang 66

Work Smart
Tingkatkan Daya Saing, Kementan Lepas Ekspor Komoditas Perkebunan ke Pasar Asia dan Eropa

Tingkatkan Daya Saing, Kementan Lepas Ekspor Komoditas Perkebunan ke Pasar Asia dan Eropa

Whats New
IHSG Turun 2,74 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Saham Rp 11.718 Triliun

IHSG Turun 2,74 Persen dalam Sepekan, Kapitalisasi Pasar Saham Rp 11.718 Triliun

Whats New
Pelita Air Catat Ketepatan Waktu Terbang 95 Persen pada Periode Libur Lebaran

Pelita Air Catat Ketepatan Waktu Terbang 95 Persen pada Periode Libur Lebaran

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com