Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Ekonomi China, Mengaku Komunis, tapi Sering Dianggap Kapitalis

Kompas.com - 01/10/2022, 12:01 WIB
Muhammad Idris

Penulis

Pada periode tahun 1950, semua tanah disita untuk negara untuk kemudian dibagikan secara merata kepada petani penggarap. Untuk merealisasikannya, kader-kader PKC disebar di pedesaan untuk mendata pembagian tanah.

Baca juga: Mengapa Hitler Menolak Melunasi Utang Jerman ke Negara Sukutu?

Bagi pemilik tanah yang enggan melepaskan tanahnya, akan dicap sebagai pembangkang. Tak sedikit tuan tanah dan keluarganya yang mengalami kekerasan hingga pembunuhan selama periode Revolusi Kebudayaan.

Lompatan Jauh dan kelaparan

Sementara itu, mengutip Buku "Republik Rakyat China 1949-Sekarang" yang ditulis Michael Wicaksono, tujuan Mao meluncurkan Lompatan Jauh ke Depan melalui industrialisasi tak lain untuk menyamai negara-negara kapitalis. Program industrialisasi harus dicapai dalam 10 tahun.

Para petani dikirim ke pusat-pusat industri untuk bekerja di sana untuk meningkatkan kapasitas produksi, terutama industri baja dan industri berat lainnya.

Namun upaya Mao Zedong tersebut justru berbuah petaka. Bukannya membuat ekonomi China membaik pasca-perang sipil dan penjajahan Jepang, kebijakan ekonomi Lompatan Jauh ke Depan ini justru membuat rakyat kelaparan.

Baca juga: Sejarah Uang di Nusantara: Era Majapahit, VOC, Belanda, hingga Jepang

Penyebabnya tak lain karena banyak lahan pertanian yang tidak tergarap karena petani penggarap dipaksa bekerja di pabrik. Awalnya, para petinggi PKC mengira kalau program tersebut berjalan baik-baik saja.

Pengetasan kelaparan sebenarnya sudah dilakukan pemerintah dengan membentuk banyak kantin-kantin komune di pedesaan, namun upaya tersebut tak efektif. Pemerintah RRC baru menyadari kegagalan ketika negara sudah terlanjur dilanda kelaparan parah.

Membasmi burung pipit

Selain berkurangnya petani, banyak kebijakan lain yang berkontribusi pada kekurangan pangan. Salah satunya kebijakan perburuan burung pipit di seluruh negeri.

Mao Zedong memiliki cara ekstrem untuk menangani krisis pangan yang pernah melanda Negeri Tirai Bambu pada 1958. Dia memerintahkan pemusnahan burung gereja.

Ia menganggap bahwa burung gereja merupakan hama. Mao menilai, burung yang dikenal juga sebagai burung pipit itu terlalu banyak memakan gandum dan membuat warga China kelaparan.

Baca juga: Pernah Dijajah Jepang, Bagaimana Indonesia Menuntut Ganti Rugi?

Masalah justru muncul kemudian. Ketiadaan buruk pipit sebagai predator alami, membuat hama seperti belalang mengalami ledakan populasi.

Bencana kelaparan membuat posisi Mao di PKC terancam. Mao kemudian terpaksa mundur dari jabatannya setelah China dilanda kelaparan besar. Kebijakan Lompatan Jauh kemudian dilanjutkan oleh penggantinya Liu Shaoqi yang lebih cenderung lebih moderat.

Deng Xiaoping berkuasa

Di bawah Liu Shiaqi, pemulihan ekonomi mulai menunjukan hasil yang positif. Namun tak berselang lama, situasi politik dan ekonomi negara sempat kembali karut-marut setelah Mao Zedong dan para pendukungnya kembali menggelorakan Revolusi Kebudayaan di tahun 1966.

Gerakan ini menitikberatkan penghormatan nilai-nilai kebangsaan yang bersifat proletar dan sosialis dan menentang semua bentuk kapitalisme.

Baca juga: Mengenal Porkas, Judi Lotre yang Pernah Dilegalkan Soeharto

Di periode inilah banyak ilmuan, pengajar, budayawan, dokter, pengacara, teknisi, dan kaum intelektual lainnya yang dijebloskan ke penjara, bahkan dibunuh karena dituduh sebagai kontra-revolusioner. Akibatnya, China mengalami kekosongan banyak tenaga ahli.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com