Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Juky Mariska

Bergabung dengan OCBC NISP sejak tahun 2014 dan kini menjabat sebagai Executive Vice President, Wealth Management Head

Kejutan Bank Sentral

Kompas.com - 03/10/2022, 07:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KEJUTAN penurunan inflasi Amerika Serikat (AS) pada level 8,3 persen cukup mengecewakan pasar, karena tidak sejalan dengan proyeksi sejumlah analis di kisaran 8,0-8,1 persen. Respon negatif dari investor berujung pada aksi sell-off pada aset saham maupun surat utang.

Bank sentral AS, The Fed, memutuskan untuk kembali menaikan suku bunga acuan sebesar 75 bps, menjadi 3,25 persen sesuai dengan perkiraan analis. Akan tetapi, nada agresif sepertinya masih akan disuarakan oleh ketua The Fed, Jerome Powell pada FOMC bulan November dan Desember nanti.

Hal ini mengakibatkan pasar saham Wall Street melemah, indeks Dow Jones turun 1,01 persen, S&P 500  merosot 1,13 persen, dan NASDAQ terkoreksi 0.95 persen pada saat rilisan Fed Rate tanggal 22 September 2022.

Tidak dapat dipungkiri, jurus The Fed dengan menaikkan suku bunga acuan, mampu membawa inflasi AS turun dari level 9,1 persen yang merupakan level tertinggi dalam 41 tahun terakhir, menuju ke level 8,3 persen, walaupun masih di atas estimasi analis.

Baca juga: Naik 0,75 Persen, Suku Bunga Acuan The Fed Sentuh Level Tertinggi sejak Krisis Ekonomi 2008

Namun, jalur agresif masih ditempuh bank sentral, sebab inflasi inti (core inflation) AS saat ini pada level 6,3 persen adalah yang tertinggi sejak tahun 1991. Inflasi inti sangat diperhatikan dalam setiap pengambilan kebijakan moneter, karena mengukur hubungan antara barang dan jasa dengan pendapatan konsumen. Dalam inflasi inti ini sektor makanan dan energi tidak masuk dalam perhitungan inflasi inti, sehingga angka inflasi inti dinilai lebih merefleksikan rata-rata perubahan harga dari waktu ke waktu yang harus dibayar oleh konsumen. Maka, wajar jika The Fed memilih jalur agresif hingga tahun 2024 nanti.

Namun, Jerome Powell menyadari bahwa harga yang harus ditanggung adalah resesi yang tidak dapat dihindari. Perekonomian AS telah berkontraksi selama dua kuartal berturut-turut pada tahun 2022, dan tekanan diperkirakan masih berlanjut di kuartal III. Data yang dihimpun dari analis Bloomberg menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi AS di 2022 hanya sebesar 1,6 persen, dengan probabilitas 50 persen memasuki masa resesi.

Apa yang terjadi pada pasar AS, tentunya mempengaruhi sentimen para pelaku pasar di Asia. Pasar keuangan China masih tertekan dengan penerapan Zero Covid Policy (ZCP) yang terbilang ketat, juga menantikan kongres nasional lima tahunan yang ke-20 pada 16 Oktober 2022.

Setelah kongres partai tersebut, investor tentu berharap adanya pelonggaran pada pembatasan Covid, sehingga konsumsi domestik diharapkan akan membaik. Di samping itu, pemerintah akan mempercepat rilisan mega stimulus senilai 1 triliun yuan yang ditargetkan untuk pembangunan infrastruktur, untuk mencegah perlambatan negara dengan ekonomi terbesar di Asia ini.

Sektor properti China diperkirakan masih akan mengalami kontraksi dengan konsumen menahan pembelian, dan perusahaan pengembang kesulitan mendapatkan pendanaan. Sehingga, target PBoC untuk pertumbuhan ekonomi di 5.5 persen untuk tahun ini sepertinya akan sulit diraih. Bahkan, analis Bloomberg memperkirakan perekonomian China hanya akan bertumbuh 3,4 persen di 2022, sebelum naik 5,1 persen di 2023.

Bank Indonesia (BI), secara mengejutkan menaikkan suku bunga acuan 7DRRR (Reverse Repo Rate) sebesar 50 bps, menjadi 4,25 persen, di atas ekspektasi analis yang hanya memperkirakan adanya kenaikan 25 bps. Kebijakan tersebut diambil merespons kenaikan Fed Rate sebesar 75 bps menjadi 3,25 persen, dan juga antisipasi kenaikan inflasi, refleksi dari harga BBM yang baru dinaikkan pada awal bulan September yang lalu.

Walaupun kenaikan suku bunga di atas ekspektasi, namun para pelaku pasar terlihat telah mengantisipasi dampak kenaikan suku bunga. Sepanjang tahun 2022 ini investor asing membukukan net inflow sekitar Rp 72,33 triliun (per 23 September). Bahkan satu minggu sebelum pengumuman suku bunga acuan, IHSG sempat mencapai level 7.377 yang merupakan level tertinggi perdagangan harian.

Sementara itu pada pasar obligasi, imbal hasil obligasi Pemerintah Indonesia tenor 10 tahun, kini berada pada kisaran 7,4 persen, naik dari 7,2 persen sebelum kenaikan suku bunga, yang menandakan adanya penurunan pada harga obligasi. Namun penurunan ini tidaklah sebanding dengan kondisi kenaikan suku bunga di masa lalu.

Baca juga: Ini Alasan BI Naikkan Suku Bunga Acuan 50 Basis Poin

Di tahun 2018, BI menaikkan suku bunga sebanyak 50bps dari 4,75 persen ke 5,25 persen, akibatnya imbal hasil naik cukup banyak dari 7,0 persen ke 7,5 persen. Hal ini juga disebabkan oleh kepemilikan investor asing saat ini yang sangat rendah di kisaran 14 hingga 15 persen, sehingga mengurangi volatilitas pada pasar obligasi. Bank Indonesia juga berupaya menstabilkan pasar obligasi dan nilai tukar rupiah melalui sejumlah operasi pasar terbuka hingga operation twist.

Meskipun ada kenaikan suku bunga tahun ini, namun Pemerintah tetap percaya diri menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,3 persen pada RAPBN tahun 2023. Era komoditas nampaknya memang belum berakhir dalam waktu dekat, program hilirisasi batubara yang dipersiapkan oleh Kementerian ESDM hingga 2030, sebagai langkah untuk program transisi energi menuju target emisi nol bersih.

Tak hanya itu, program hilirisasi ini tidak terhenti pada batubara saja, the new commodity star yang perlu diperhitungkan adalah nikel dan biji besi, di mana Indonesia merupakan salah satu produsen terbesar di dunia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com