Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jazak Yus Afriansyah
Trainer

Author, Coach, Trainer.
Master of Technology Management.

Mengurai Benang Merah “Leadership Gap Syndrome” dengan “Quiet Quitting” (Bagian I)

Kompas.com - 03/10/2022, 08:44 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAAT ini secara umum 60 persen hingga 75 persen angkatan kerja di semua organisasi, korporasi hingga birokrasi telah didominasi oleh Generasi Millennial.

Kondisi tersebut terjadi sebagai konsekuensi logis mekanisme perubahan zaman yang berbanding lurus dengan perubahan demografi generasi.

Sehingga di dalam korporasi bisa ditemukan tiga generasi sekaligus yang eksis dan hidup bersama, mereka adalah generasi X, Y, dan Z.

Secara hirarkis umumnya generasi yang lebih senior, yaitu Generasi X dan Generasi Y ada pada posisi Top Management dan Decision Maker.

Sedangkan Generasi Z ada pada posisi staf hingga middle management. Meskipun ada walau dalam jumlah yang sedikit Generasi Millennial yang menduduki posisi puncak.

Keadaan tiga generasi yang hidup bersama sekaligus secara empiris terbukti memicu situasi yang mengganggu proses kepemimpinan yang berdampak kepada kinerja semua pihak, termasuk kinerja korporasi atau organsisasi.

Kondisi ini sering disebut sebagai Leadership Gap Syndrome atau Gejala Jarak Kepemimpinan yang dalam beberapa literasi dikenal juga sebagai Gejala Jurang Kepemimpinan.

Pada hakikatnya Gejala Jurang Kepemimpinan adalah sesuatu yang normal dan lazim jika dikaitkan dengan Prinsip Dasar Manajemen Perubahan, yaitu yang abadi di alam semesta ini adalah perubahan itu sendiri.

Termasuk di sini adalah perubahan demografi di organisasi yang terjadi secara alami ditandai dengan bergantinya generasi seiring dengan perjalanan waktu.

Yang membedakan adalah pada Era Millennial seperti saat ini, perbedaan akibat perubahan demografi generasi di dalam korporasi memiliki perbedaan dan jarak yang sangat jauh menganga atau sangat signifikan antara Generasi Millennial dengan Generasi yang lebih senior yang sering disebut sebagai Generasi Kolonial.

Generasi Kolonial adalah perpaduan antara Generasi X, yaitu mereka yang lahir pada tahun 1940-1950-an dan Generasi Y yang lahir pada era 1960 hingga 1970-an. Perbedaan ini terjadi terutama pada perbedaan sudut pandang, paradigma, preferensi, dan karakter.

Dan perbedaan karakter, perilaku, sikap serta preferensi ini sayangnya tidak diketahui dan bahkan tidak disadari oleh senior mereka para Generasi Kolonial.

Apa yang sekarang terjadi?

Disebabkan ketidaktahuan tersebut para pemimpin ini tanpa sadar memimpin para Millennial menggunakan cara atau pendekatan sebagaimana mereka dipimpin oleh atasannya terdahulu.

Apakah hal ini salah? Tentu tidak!

Hanya saja cara memimpin tersebut tidak tepat. Cara atasan mereka memimpin terdahulu sangat tidak cocok dan tidak relevan untuk Generasi Millennial saat ini.

Ketidakcocokan ini sebagaimana uraian di atas secara ilmiah dipicu oleh perbedaan karakter, sikap, perilaku, dan preferensi yang sangat menganga lebar antara Generasi Millennial dengan Generasi Kolonial.

Alhasil, dalam proses kepemimpinan tersebut sering terjadi friksi di antara Generasi Kolonial yang memimpin dengan Generasi Millennial yang dipimpin.

Atau sebaliknya dalam beberapa kondisi yang langka, Generasi Kolonial dipimpin oleh Generasi Millennial.

Friksi tersebut jika tidak dikelola dengan bijaksana, maka akan berkembang menjadi konflik terbuka yang tidak produktif.

Karena konflik yang tidak produktif tersebut gagal dikendalikan akhirnya meledak menjadi pembangkangan dan perlawanan oleh para Millennial.

Perlawanan tersebut bisa terlihat sangat vulgar dan nyata, Misalnya, mereka mengajukan mosi tidak percaya, melawan perintah atasan, menolak melaksanakan tugas dan puncaknya mereka mengajukan resign secara mendadak, dan terkadang resign tersebut dilakukan secara berjamaah.

Namun terkadang perlawanan tersebut dilakukan secara tersamar dengan halus. Artinya mereka tidak menunjukkan secara vulgar, namun membungkusnya dengan rapi sehingga terlihat seperti bukan pembangkangan. Inilah yang sekarang dikenal sebagai Quiet Quitting!

Dikutip dari Buku “Lead or Leave it to Millennial” beberapa bentuk perlawanan itu, misalnya, mereka tidak menolak secara frontal tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

Namun secara sistimatis para karyawan ini tidak menyelesaikan tugas tersebut dengan baik sesuai dengan target yang telah ditentukan.

Pada beberapa kasus ditemukan mereka mengerjakan hanya karena ingin sekadar menggugurkan kewajiban sesuai dengan kontrak dan gaji yang mereka terima tanpa komitmen untuk mencapai hasil yang maksimal. Inilah puncak dari Gerakan Quiet Quitting.

Maka bisa disimpulkan bahwa cara kepemimpinan yang tidak relevan dengan Generasi Millennial menyebabkan Leadership Gap Syndrome, sehingga Leadership Gap Syndrome yang tidak lekas diterapi memicu terjadinya Quiet Quitting.

Pada beberapa kondisi yang ekstrem, Quiet Quitting ditunjukan dengan pekerjaan yang dihentikan di tengah jalan serta ditinggalkan begitu saja dan yang lebih fatal adalah terjadinya fraud!

Pada situasi tersebut kajian empiris kami menunjukkan sebagian besar para pemimpin dari generasi yang lebih senior, kurang paham bahwa itu adalah gejala friksi dan konflik.

Akibat pola kepemimpinan mereka terhadap anggota tim dari Generasi Millennial yang tidak pas, membuat frustasi dan menyakitkan hati.

Namun mengapa karyawan Millenial lebih memilih membungkus rapi dan senyap atau Quiet Quitting ketidakrelaan mereka terhadap cara atasan mereka memimpin?

Adalah lebih karena kepentingan pragmatis jangka pendek untuk memenuhi hajat hidup. Dengan kata lain mereka terpaksa, karena untuk sementara belum ada pilihan lain untuk resign.

Sehingga kajian Leadership in Millennial Era ini didesain khusus untuk memberikan wawasan dan pengetahuan bagaimana memimpin dan dipimpin di Era Millennial.

Pada edisi berikutnya para pemimpin akan memahami Definisi, Sikap dan Perilaku khas masing-masing generasi pada organisasi.

Di samping itu kami tambahkan tips dan trik bagaimana kita mampu melihat perubahan dan tantangan Pola Gejala Sindrom Jarak Generasi sebagai peluang untuk pengembangan organisasi agar terus efektif mencapai hasil.

Untuk mencapai hal tersebut di atas Anda sebagai pemimpin wajib hukumnya untuk memahami bagaimana cara memimpin dan bersikap dengan Generasi Millennial.

Dan hal ini akan terjadi, jika kita mampu memahami definisi masing-masing Generasi X, Y, Z dan mengetahui gejala jurang kepemimpinan yang berkaitan dengan Quiet Quitting.

Kita cukupkan kajian kita disini, sampai bertemu pada edisi berikutnya. Selamat memimpin dan sukses selalu untuk Anda semua!

Baca artikel selanjutnya: 4 Teknik Mengatasi “Leadership Gap Syndrome” (Bagian II - Habis)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Kemenhub Fasilitasi Pemulangan Jenazah ABK Indonesia yang Tenggelam di Perairan Jepang

Whats New
Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Apa Pengaruh Kebijakan The Fed terhadap Indonesia?

Whats New
Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Gandeng Telkom Indonesia, LKPP Resmi Rilis E-Katalog Versi 6

Whats New
Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Ekonomi China Diprediksi Menguat pada Maret 2024, tetapi...

Whats New
Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Berbagi Saat Ramadhan, Mandiri Group Berikan Santunan untuk 57.000 Anak Yatim dan Duafa

Whats New
Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Tarif Promo LRT Jabodebek Diperpanjang Sampai Mei, DJKA Ungkap Alasannya

Whats New
Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Bisnis Pakaian Bekas Impor Marak Lagi, Mendag Zulhas Mau Selidiki

Whats New
Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Cara Reaktivasi Penerima Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

Work Smart
Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Kehabisan Tiket Kereta Api? Coba Fitur Ini

Whats New
Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Badan Bank Tanah Siapkan Lahan 1.873 Hektar untuk Reforma Agraria

Whats New
Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Dukung Pembangunan Nasional, Pelindo Terminal Petikemas Setor Rp 1,51 Triliun kepada Negara

Whats New
Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Komersialisasi Gas di Indonesia Lebih Menantang Ketimbang Minyak, Ini Penjelasan SKK Migas

Whats New
Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Mulai Mei 2024, Dana Perkebunan Sawit Rakyat Naik Jadi Rp 60 Juta Per Hektar

Whats New
KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

KA Argo Bromo Anggrek Pakai Kereta Eksekutif New Generation per 29 Maret

Whats New
Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Mudik Lebaran 2024, Bocoran BPJT: Ada Diskon Tarif Tol Maksimal 20 Persen

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com