Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gatot Rahardjo
Pengamat Penerbangan

Pengamat penerbangan dan Analis independen bisnis penerbangan nasional

Maskapai Baru dan Upaya Menekan Harga Tiket Pesawat

Kompas.com - 03/10/2022, 12:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SUDAH lebih satu setengah bulan sejak Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Menteri BUMN Erick Thohir untuk menurunkan harga tiket pesawat.

Atau bahasa halusnya, mencari pemecahan yang terbaik terkait harga tiket pesawat sehingga tidak merugikan penumpang dan maskapai penerbangan.

Namun sampai saat ini, harga tiket pesawat masih tinggi, berada di batas atas dari tarif yang ditetapkan oleh Kementerian Perhubungan.

Lalu, bagaimana resep Menteri Perhubungan dan Menteri BUMN untuk menekan harga tiket pesawat seperti perintah Presiden Jokowi?

Hampir serempak, keduanya mengajukan resep yang menurut mereka jitu, yaitu penambahan kapasitas penerbangan.

Baik itu dengan menambah jumlah pesawat maupun menambah frekuensi penerbangan oleh maskapai yang sudah ada dan syukur-syukur kalau ada maskapai baru yang muncul.

Setelah satu setengah bulan, seharusnya resep itu mulai menampakkan hasilnya. Namun kenapa sampai saat ini harga tiket pesawat tetap tidak turun? Benarkah penambahan kapasitas itu resep yang ampuh?

Penambahan kapasitas

Sesuai hukum ekonomi, kalau barang yang beredar di masyarakat banyak, maka harganya akan turun karena ada persaingan antarbarang. Hal ini akan berlaku pada kondisi persaingan bisnis yang sehat antarprodusen.

Namun tidak berlaku jika pasarnya monopoli, yaitu produsennya hanya satu atau ada satu produsen yang mendominasi dari produsen lain.

Jika terjadi demikian, maka harga akan diatur oleh pemegang monopoli atau produsen yang dominan.

Produsen yang lain, biasanya akan mengikuti. Kalau tidak, produsen tersebut akan dimatikan oleh produsen yang dominan. Atau produsen tersebut akan dibuat tidak bisa bersaing dan lama-lama akan mati juga.

Terkait penambahan kapasitas, bagi maskapai yang sudah eksisting ada dua kemungkinan. Yaitu menambah frekuensi penerbangan dengan pesawat yang ada atau menambah pesawat untuk kemudian menambah frekuensi penerbangan.

Keduanya mempunyai konsekuensi, yaitu penambahan biaya dan penambahan sumber daya manusia. Karena jam kerja SDM penerbangan terutama pilot, pramugari dan teknisi dibatasi secara ketat oleh aturan internasional untuk menjaga keselamatan penerbangan.

Biaya operasional yang membengkak bisa ditutup oleh jumlah pemasukan dari tiket penumpang, dibantu dengan tiket kargo dan pemasukan lain-lain.

Namun jika dalam satu penerbangan jumlah penumpangnya sedikit, tentu saja pemasukan maskapai juga berkurang. Bahkan bisa saja rugi.

Artinya, penambahan kapasitas ini bisa jadi justru merugikan maskapai jika ternyata pemasukan tiket penumpang dan kargo jadi lebih sedikit karena tingkat keterisian pesawat (load factor) turun.

Sedangkan penambahan kapasitas dengan menambah jumlah pesawat juga tidak mudah. Banyak aspek pembiayaan secara internasional yang harus dilakukan oleh maskapai karena kebanyakan perusahaan penyewaaan pesawat berada di luar negeri.

Bagi maskapai swasta akan lebih mudah karena administrasi internal perusahaannya biasanya lebih pendek.

Tapi bagi maskapai BUMN, tidak bisa secepat itu karena ada proses-proses yang perlu dilakukan dengan lebih hati-hati, banyak meja yang harus dilalui dan tentu saja proses yang lebih panjang.

Untuk itulah penambahan kapasitas selalu disikapi hati-hati oleh maskapai penerbangan. Jangan sampai justru menjadi bumerang bagi bisnis mereka.

Maskapai baru

Melalui UU no. 11 tahun 2020 Omnibus Law Cipta Kerja, Pemerintah sebenarnya sudah meringankan syarat-syarat pendirian maskapai baru.

Misalnya, maskapai baru tidak harus lagi memiliki 5 pesawat dan sewa 5 pesawat. Sekarang cukup memiliki 1 pesawat dan sewa 2 pesawat.

Namun hingga saat ini, hampir tidak ada maskapai baru. Yang ada adalah maskapai lama yang menambah anak perusahaan atau muncul dengan wajah baru.

Misalnya, Lion Group membuat anak usaha Super Air Jet. Lalu ada Pelita Air Service, maskapai carter yang sekarang membuka penerbangan berjadwal.

TransNusa yang kembali beroperasi setelah sebelumnya berhenti karena terdampak pandemi Covid-19.

Kemunculan Pelita dan TransNusa dengan wajah baru sebenarnya memunculkan harapan untuk dapat membuat persaingan bisnis penerbangan menjadi baik.

Sebagai maskapai baru, beban biaya yang ditanggung juga relatif lebih kecil sehingga bisa menjual tiket lebih murah. Hal ini diharapkan berimbas pada persaingan bisnis antarmaskapai yang lebih ramai dan lebih baik.

Namun sebagai maskapai baru, kapasitas dua maskapai ini juga masih kecil, bahkan sangat kecil jika dibandingkan dengan maskapai yang sudah ada dan dominan.

Pelita Air dan TransNusa sejauh ini baru membuka dua rute penerbangan, yaitu Jakarta – Bali PP dan Jakarta – Yogyakarta PP.

Pada dua rute ini, persaingan memang ketat. Harga tiket yang dijual maskapai eksisting sedikit di bawah dari Tarif Batas Atas (TBA) imbas dari persaingan harga yang dipatok maskapai baru TransNusa yang masih menerapkan tarif promo.

Walaupun hanya di dua rute, tentu saja hal ini membawa angin segar. Dan diharapkan menular pada rute-rute lain. Namun harapan itu bisa saja buyar.

Maskapai yang lebih besar biasanya secara alami tidak mau pasarnya direbut, sehingga akan cenderung berupaya mempertahankannya dengan segala cara.

Dan bisa jadi, dua maskapai baru ini akan terus dipepet sehingga tidak akan bertahan lama karena persaingan yang sengit.

Oleh karena itulah diperlukan peran pemerintah untuk membuat iklim bisnis yang baik dan adil, setiap maskapai mempunyai kesempatan untuk berkembang tanpa mematikan maskapai lainnya.

Iklim bisnis

Iklim bisnis ini hanya bisa diciptakan dan dijaga oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan karena merekalah sebagai regulator yang bertugas untuk mengatur, mengawasi dan mengendalikan penerbangan nasional termasuk di sisi bisnisnya.

Pemerintah tidak perlu masuk terlalu ke dalam persaingan bisnis maskapai. Cukup membuat aturan yang adil dan dapat dilakukan oleh semua maskapai.

Kemudian mengawasi dan menindak tegas jika ada yang melanggar aturan. Jika ada maskapai yang perlu bantuan, maka diberikan asistensi sehingga sehat dan mampu bersaing kembali.

Misalnya, dalam soal pemberian flight approval, pengaturan slot dan frekuensi penerbangan antar maskapai harus adil.

Harus dipertimbangkan kekuatan pasar di dua rute tersebut. Jangan sampai jumlah frekuensi ditambah, namun justru mengakibatkan jumlah keterisian penumpang turun dan maskapai rugi.

Bagi maskapai besar mungkin tidak akan terasa karena bisa ditutup dari pendapatan di rute lain. Tapi bagi maskapai kecil akan langsung terasa dampaknya.

Pemberian flight approval juga harus melihat persaingan yang ada. Jangan sampai terlalu mepet jam keberangkatannya, terutama antara maskapai besar dan maskapai kecil karena bisa memengaruhi harga tiket yang dijual.

Namun dalam hal pemenuhan aturan slot harus tegas. Siapapun maskapainya, kalau tidak bisa berangkat sesuai jadwal karena hal-hal yang tidak sesuai aturan, harus menerima konsekuensi dipindah ke jam terakhir.

Dengan demikian, maskapai akan berbenah dan layanan kepada penumpang akan meningkat.

Kementerian Perhubungan sudah saatnya menyisir kembali aturan-aturan terkait bisnis penerbangan.

Aturan yang bisa menyebabkan iklim bisnis tidak adil atau hanya menguntungkan salah satu maskapai, sudah seharusnya diubah. Pengawasan dan pengendalian juga diperketat dengan evaluasi menggunakan acuan yang lebih baik.

Untuk itu, kompetensi sumber daya manusia di regulator ini, terutama yang berkaitan dengan bisnis penerbangan juga harus ditingkatkan.

Sehingga dapat menciptakan iklim bisnis penerbangan yang lebih baik, dapat menarik investor dan terjadi persaingan yang sehat. Pada akhirnya, harga tiket akan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan daya beli penumpang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com