Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Diding Jalaludin
Advokat/Konsultan Hukum

Advokat/Konsultan Hukum

"Exequatur" Putusan Arbitrase Ekonomi Syariah

Kompas.com - 14/10/2022, 15:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sebelumnya, harus ada sesuatu yang khas dari arbitrase yang membedakannya dengan aroma lembaga peradilan, seperti yang selama ini telah dikenal antara lain jika di pengadilan konflik para pihak disebut perkara, di arbitrase disebut dengan istilah sengketa.

Kewenangan hakim peradilan memeriksa, memutus, dan mengadili, sementara di arbitrase tugas arbiter hanya memeriksa dan memutus, tidak memiliki kewenangan untuk mengadili.

Dalam putusan arbitrase juga sebaiknya mencantumkan teori hukum dan pendapat hukum yang berkaitan dengan sengketa, sehingga produk berupa putusan merupakan pendapat hukum arbiter yang memang expert di bidang tersebut.

Setelah memeriksa sengketa para pihak, arbiter akan mengeluarkan putusan yang kemudian putusan tersebut harus diregistrasi di pengadilan tempat domisili termohon supaya memiliki kekuatan eksekutorial.

Menurut SUT Girsang, SH putusan arbitrase tidak dengan sendirinya mempunyai kekuatan eksekuatorial. Karena itu, terhadap suatu putusan arbitrase yang berisi penghukuman, pihak yang dinyatakan benar (menang) dapat minta exequatur pada Ketua Pengadilan Negeri (President der Rechtbank) (pasal 1062 Rv).

Exequatur adalah tindakan Ketua Pengadilan Negeri untuk memberikan executoriale titel pada putusan arbitrase. Dengan itu putusan tersebut dapat dilaksanakan, bila perlu dengan bantuan alat negara.

Exequatur ini dapat berupa cap yang dibubuhkan di atas putusan arbitrase atau penetapan tersendiri (aparte beschikking). Namun dalam sengketa ekonomi syariah, dari berbagai literatur peraturan perundang-undangan yang ada, sampai saat ini masih mempertahankan “pasal-pasal usang” untuk mengatur terkait exequatur putusan arbitrase.

Seperti ketentuan bahwa putusan arbitrase didaftarkan di Pengadilan Negeri sebagaimana ketentuan Pasal 59 (1) Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS jo Pasal 59 ayat (3) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Padahal sengketa sektor ekonomi syariah merupakan kewenangan absolut Pengadilan Agama sebagaimana ketentuan Pasal 49 huruf i Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang seharusnya dapat diakomodir dalam Undang-undang Arbitrase dan APS yang baru.

Baca juga: Membaca Peluang Penyelesaian Arbitrase Internasional di Indonesia

Apalagi kini semakin berkembang pesat, tentu membutuhkan aturan hukum yang tidak rancu dalam rangka mendukung dan mengembangkan bisnis di bidang tersebut. Saat ini, mekanisme agar putusan arbitrase syariah mendapat eksekuatorial lembaga yang berwenang hanya diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung, bukan diatur dengan Undang-undang.

Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 14 tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah memberikan pedoman bahwa pelaksanaan putusan perkara ekonomi syariah, hak tanggungan dan fidusia berdasarkan akad syariah dilakukan oleh Pengadilan Agama. Kemudian mengenai pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan pembatalannya, juga dilakukan oleh Pengadilan Agama.

Akan tetapi, lagi-lagi Perma itu pun masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengenai tata cara pelaksanaan putusan, yang mana dalam UU tersebut masih menggunakan frasa Pengadilan Negeri sebagai lembaga yang berwenang memberikan exequatur terhadap putusan arbitrase.

Dengan kewenangan dan fungsi mengatur yang diberikan undang-undang pada Mahkamah Agung, sebaiknya Perma tersebut juga mengatur secara komprehensif mengenai ketentuan-ketentuan arbitrase di sektor ekonomi syariah, tanpa merujuk lagi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Arbitrase dan APS.

Pengaturan tersebut sangat dimungkinkan karena Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).

Mahkamah Agung juga dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-undang.

Seharusnya celah ini menjadi solusi agar arbitrase di sektor ekonomi syariah memiliki payung hukum yang jelas dan menyeluruh. Karena kita belum tahu kapan UU Arbitrase dan APS yang sudah berlaku sejak 23 tahun yang lalu itu akan direvisi dan mengakomodir keberadaan arbitrase ekonomi syariah di dalamnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com