Dengan ilustrasi angka di atas, hidup bertiga di Yogyakarta akan relatif lebih murah daripada hidup berdua di Jakarta, untuk asumsi penghasilan yang sama.
Bila asumsinya jumlah anggota keluarga sama, hidup di Yogyakarta akan menghemat pengeluaran hingga besaran 37,5 persen dari nominal penghasilan yang sama, dibanding bila hidup di Jakarta.
Problemnya adalah, angka di atas menggunakan rerata, sehingga cenderung tidak fair. Untuk data yang memiliki nilai kecondongan (skew) tinggi seperti penghasilan, pengeluaran, dan yang sepertinya, median lebih merepresentasikan nilai tengah atau tipikal.
Untuk tujuan tersebut, Kudu menggunakan data lain BPS, yakni Survei Biaya Hidup Tahun 2018 Jakarta dan Survei Biaya Hidup Tahun 2018 Yogyakarta.
Data survei biaya hidup ini memberikan data sebaran penghasilan rumah tangga. Selain itu, terdapat pula data pembagian pengeluaran berdasar kelompok penghasilan rumah tangga.
Membaca sebaran penghasilan rumah tangga menggunakan data tersebut, seseorang yang tinggal di di Jakarta harus memiliki penghasilan lebih dari Rp 12 juta per bulan untuk bisa termasuk ke dalam kelompok 40 persen orang terkaya.
Sementara di Yogyakarta, seseorang cukup memiliki penghasilan lebih dari Rp 7,5 juta untuk masuk kelompok 40 persen orang terkaya.
Sebaliknya, seseorang di Jakarta dengan penghasilan kurang dari Rp 7,5 juta sudah akan masuk golongan 40 persen orang termiskin, menurut data survei biaya hidup tersebut.
Lantas, bagaimana dengan pola pengeluaran kelompok penghasilan di atas?
Kudu tidak menemukan kisaran angka yang sama persis seperti data di atas. Batasan paling atas hanya di angka Rp 7 juta. Grafik di bawah ini adalah pengeluaran rumah tangga per kapita berdasarkan kelompok penghasilan:
Berdasarkan paparan data di atas, terdapat perbedaan pengeluaran berdasarkan kelompok-kelompok penghasilan berbeda.
Jika dilihat sepintas, perbedaan pengeluaran paling kentara tatkala seseorang naik dari kelompok penghasilan di bawah Rp 7 juta ke penghasilan di atas Rp 7 juta adalah alokasi pengeluaran nonkonsumsi dan transportasi.
Kemungkinan, hal ini terjadi menyusul perubahan moda transportasi yang digunakan. Boleh jadi, saat penghasilan di bawah Rp 7 juta maka kendaraan yang dipakai adalah sepeda motor atau angkutan umum. Sementara saat penghasilan di atas Rp 7 juta maka yang dipakai sebagai moda transportasi adalah mobil.
Selain itu, terdapat lebih banyak uang atau penghasilan untuk dibelanjakan barang-barang kebutuhan tersier, ketika seseorang beralih dari penghasilan di bawah Rp 7 juta menjadi melebihi Rp 7 juta.
Misalnya saja di kelompok penghasilan Rp 1 juta – Rp 1,5 juta, boleh jadi memiliki pengeluaran yang lebih besar dari Rp 1,5 juta hingga Rp 3 juta.
Tampak pula bahwa di kelompok penghasilan Rp 1 juta hingga Rp 2 juta, sangat rawan terjadinya praktik "besar pasak daripada tiang.'' Tentu saja, hal ini membutuhkan pengujian data serta riset lanjutan.
Manakala dibandingkan di setiap kelompok penghasilan, kelompok manakah yang paling untung jika memutuskan untuk hidup di Yogyakarta?
Guna mengetahui jawabannya, Kudu membandingkan tiga macam pengeluaran berdasarkan pengeluaran nonkonsumsi (grafik warna biru muda yang ada di Gambar 3) dan pengeluaran konsumsi (jumlah seluruh warna grafik di Gambar 3, kecuali biru muda).
Definisi ihwal "siapa lebih untung" dalam konteks ini adalah, kelompok penghasilan mana yang dapat menghemat pengeluaran hingga 37,5 persen atau lebih tatkala hidup di Yogyakarta.