Karena itulah, masih dikutip dari artikel Bloom, terdapat "bom waktu ketitidaksetaraaan" dalam konteks perekonomian yang berbasis WFH atau WFA. Diperlukan langkah-langkah untuk melakukan mitigasi terhadap hal tersebut.
Dalam konteks AS, Bloom menulis bahwa sehubungan dengan gerak maju untuk memulai kembali perekonomian AS, investasi dalam ekspansi broadband atau koneksi internet dengan transmisi data berkecepatan tinggi mestilah menjadi prioritas utama.
Fakta senada, dalam konteks lebih luas di tingkat negara-negara, ditulis Susan Lund, Anu Madgavkar, James Manyika, dan Sven Smit (2020) dalam artikel berjudul What's next for remote work: An analysis of 2.000 tasks, 800 jobs, and nine countries.
Dipublikasikan McKinsey Global Institute, riset tersebut menganalisis lebih dari 2.000 aktivitas yang ada dalam lebih dari 800 pekerjaan di China, Perancis, Jerman, India, Jepang, Meksiko, Spanjyol, Inggris, dan AS.
Riset Susan Lund dkk mendefinisikan aktivitas-aktivitas dan pekerjaan-pekerjaan yang bisa dilakukan dari rumah. Mereka menganalisis potensi kerja jarak jauh sebagai pekerjaan yang tidak membutuhkan interaksi interpersonal atau kehadiran fisik di tempat kerja tertentu.
Salah satu temuan Lund dkk menyebutkan bahwa potensi praktik kerja jarak jauh lebih tinggi di negara-negara ekonomi maju. Hal ini merupakan refleksi atas gabungan sektor-sektor perekonomian, pekerjaaan, dan aktivitas.
Karena itulah, terdapat variasi potensi kerja jarak jauh di antara negara-negara yang disurvei. Dalam konteks tersebut, Inggris yang perekonomiannya didominasi bisnis dan layanan keuangan, memiliki potensi tertinggi dalam hal praktik kerja jarak jauh di antara negara-negara lain yang diteliti.
Baca juga: Presidensi G20 Indonesia dan Indeks Persepsi Korupsi dalam 7 Klaster
Lund dkk juga menemukan bahwa pekerjaan dengan potensi tertinggi untuk dilakukan memakai metode jarak jauh berada di sektor-sektor keuangan, manajemen, jasa profesional, dan informasi.
Sebaliknya, sektor pertanian, jasa akomodasi dan makanan, serta konstruksi menempati urutan tiga terbawah dalam konteks potensi terendah untuk dilakukan secara jarak jauh menurut riset ini.
Prithwiraj Choudhury (2020) dalam artikel berjudul Our Work - from - Anywhere Future yang dipublikasikan di Harvard Business Review, menyebutkan bahwa transisi dari pekerjaan yang dilakukan secara tradisional ke pekerjan jarak jauh sejatinya bukan baru terjadi semasa pandemi Covid-19, melainkan dapat dikatakan telah dimulai pada 1970-an.
Saat itu, penerapan WFH atau WFA disebabkan embargo minyak oleh (The Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) pada 1973 yang menyebabkan harga bahan bakar minyak meroket dan ongkos bepergian menjadi mahal.
Para pekerja, tulis Choudhury, sering juga diberikan kendali atas jadwal mereka. Hal itu membuat mereka bisa meluangkan waktu untuk melakukan penjemputan di sekolah, melakukan perjalanan singkat untuk keperluan tertentu, dan melakukan olahraga di tengah hari tanpa terlihat lalai.
Masih dikutip dari artikel Choudhury, keuntungan dari metode WFH atau WFA dalam beberapa tahun belakangan, bagi individu, perusahaan, dan masyarakat sudah jelas. Bagi individu, sekurangnya hal itu berguna untuk menembus berbagai batasan geografis, berkurangnya biaya hidup, dan meningkatkan kualitas interaksi keluarga.
Untuk perusahaan, praktik WFH atau WFA memberikan keuntungan karena meningkatkan keterlibatan karyawan dan pengurangan kebutuhan ruangan fisik. Adapun bagi masyarakat, model kerja WFH atau WFA disebutkan memiliki potensi untuk dapat membalikkan kondisi "brain drain" yang kerap mengganggu pasar kerja di negara berkembang, kota kecil, dan perdesaan.
Merriam-Webster memberikan definisi brain drain sebagai situasi ketika orang-orang terpelajar atau profesional dari suatu negara, sektor ekonomi, atau lapangan kerja memilih beralih ke tempat lain, biasanya demi gaji atau kondisi hidup yang lebih baik.