Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dedy Dahlan
Passion Coach

Passion coach yang juga penulis best seller dari buku Broken, Lakukan Dengan Hati, Ini Cara Gue, dan Passion!–Ubah Hobi Jadi Duit. Gaya penulisan dan gaya panggungnya jenaka, nyeleneh, blakblakan, kreatif, dengan materi praktikal. Biasa dipanggil Coach D, ia adalah anggota dan coach tersertifikasi dari ICF (International Coach Federation), yang memusatkan diri pada pengembangan passion dan profesi.
Instagram dan Twitter @dedydahlan
YouTube Dedy Dahlan

Menggarap Proyek Passion demi Kesehatan Mental

Kompas.com - 18/10/2022, 09:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEBAGAI seseorang yang pekerjaannya ketagihan menulis buku tentang pengembangan minat – bukan sekali, bukan dua kali, tapi empat kali – era kebangkitan hidup digital beberapa tahun belakangan ini pada awalnya bikin saya optimistis dan bergoyang senang.

Bayangin aja, apa aja yang bisa dikembangkan dengan semua fasilitas modern sekarang ini. Passion macam apa yang enggak bisa berkembang coba? Hobi macam apa yang enggak punya outlet-nya?

  • YouTube bisa jadi platform pamer karya hobi, dari video, music, sampe cocok tanam.
  • Instagram bikin orang bisa ngembangin karya dalam visual art, fotografi atau drawing.
  • TikTok bisa dipakai buat Anda yang passion-nya dance, comedy, sampai editing.

Bahkan Twitter, yang sekarang jadi ‘empang digital’ tempat orang- orang lempar batu sembunyi tangan juga bisalaaaah dibikin berfaedah.

Baca juga: Apa Itu Passion dan Bedanya dengan Hobi

Passion dan Digital Lifestyle

Digital platform, sejak zaman saya suka nulis artikel Passionpreneurship di situs ini, saya yakini bakal jadi solusi pengembangan passion dan minat seseorang.

Begitu yakinnya, sehingga ketika saya melihat trend ini, dengan tenang, saya bahkan meletakkan pena dan berhenti menulis soal passion.

Kesehatan mental gara- gara passion abal-abal

Ohhhhh, alangkah salahnya saya! Karena ternyata dengan menjamurnya gaya hidup digital ini, ternyata muncul juga gaya hidup lain yang justru menjadi antithesis dari pengembangan minat. Gaya hidup yang mencari popularitas yang mengarahkan orang pada gaya hidup FOMO.

Fear of missing out, enggak pengen ketinggalan, enggak pengen orang lain lebih dulu dari gue, enggak pengen ketinggalan keyword populer, bikin orang jadi meniru apa yang lagi populer.

Habit lawas yang dilatih algoritma media sosial – terutama TikTok – ini mendorong orang buat mengikuti hal populer, dan bukan membuat hal baru. Membuat karya yang disukai algoritma, dan bukan karya yang disukai diri sendiri. Mengejar popularitas dadakan, dan bukannya mengejar kesenangan mengerjakannya sendiri.

Dengan kata lain, orang terdorong untuk meniru minat orang lain, daripada mengembangkan minatnya sendiri. Meniru passion yang lagi populer, bukan untuk menikmatinya sendiri.
Orang ketagihan ngejalanin passion yang bukan passion-nya sendiri. Passion KW! Passion abal-abal!

Jadi, enggak usah ditanya kenapa Kementrian Kesehatan kita mengumumkan peningkatan jumlah penderita masalah kesehatan mental. Udah jelas alasannya! Banyak nih tuntutan hobi plasu yang sangat mengacak- acak kesehatan jiwa mereka.

  • Panik waktu enggak dapat like sebanyak teman.
  • Bingung waktu aktivitas media sosialnya medianya enggak bikin dia happy (lah iya, la wong cuma niru).
  • Insecure saat ngerasa enggak berbakat di bidang yang memang sebenarnya bukan passion dia.

Lah mau apa sih iniii?

Menggaruk rasa gatal dan memulai passion project otentik-mu!

Jadi gimana? Nahh, coba intip video satu ini.

Halaman Berikutnya
Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com