Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Meta Leadership: Gaya Kepemimpinan Efektif di Era Badai Krisis

Kompas.com - 19/10/2022, 15:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DUNIA kita saat ini menghadapi banyak masalah. Menurut Global Risk Report 2022, ada sepuluh risiko yang dihadapi dunia, mulai dari sektor lingkungan, ekonomi, hingga sosial.

Selain itu, dunia masih menghadapi gejolak Perang Rusia melawan Ukraina yang sampai sekarang belum menemui kepastian kapan akan selesai.

Selain itu, pada 26 September lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa dunia akan mengalami resesi. Kenaikan suku bunga cukup ekstrem bersama-sama, maka dunia pasti resesi pada 2023.

Dalam lingkup domestik, 19 persen responden mengatakan bahwa korupsi menjadi masalah utama yang harus diselesaikan, menurut survei dari GNFI dan KedaiKopi.

Kondisi dunia saat ini dapat dikatakan sangat mengkhawatirkan, yang mungkin membuat kita meragukan akan masa depan.

Namun demikian, satu hal yang bisa jadi pemecah masalah adalah jika kita memiliki pemimpin yang dapat bertransformasi menjadi meta leaders.

Kita tahu bahwa dunia berubah dengan begitu cepat dan menjadi tidak pasti. Masalah menjadi multi-dimensi, tidak bisa diselesaikan hanya di salah satu sektor saja. Contohnya saja masalah perubahan iklim.

Isu perubahan iklim adalah masalah yang multidimensi karena banyak aspek yang terdampak. Ada aspek sosial, lingkungan, politik, kebijakan publik, dan teknologi. Menyelesaikan masalah di bidang sosial, belum tentu bisa menyelesaikannya di sektor-sektor lainnya.

Berbagai isu dan masalah yang terjadi sekarang menuntut pemimpin memiliki berbagai keahlian di berbagai bidang serta bisa mengakomodir berbagai kepentingan. Untuk itulah, konsep meta leadership diperlukan karena relevan dengan situasi saat ini.

Meta leadership adalah sebuah kerangka atau panduan yang telah dikembangkan dari hasil riset terhadap pemimpin di lingkungan yang stresnya tinggi dan “taruhannya” tinggi.

Meta leadership tidak mengenal tingkatan atau hierarki, tetapi lebih mengajak orang untuk aware terhadap situasi dan masalah yang kritis, kompleks, dan menyeluruh supaya dapat merumuskan action plan.

Dalam konsep meta leadership, ia memiliki tiga dimensi: the person, the situation, dan connectivity. Saya akan menjabarkan tiga dimensi ini sesuai konteks saat ini.

Meta Leadership: The Big Thinker

Dimensi pertama adalah the person. Meta leader menurut Marcus et.al (2007) adalah seorang big thinker. Mereka berani untuk mengambil masalah yang kompleks.

Meta leader adalah seorang perancang strategi, mampu connecting the dot dan membuat semua pemangku kepentingan bekerja sama, serta memahami kompleksnya situasi.

Meta leader juga seorang yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan juga orang yang suka mengeksplorasi pengetahuan yang dimiliki.

Karena mereka mau belajar dari banyak orang, the Big Thinker memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Kemampuan ini penting ketika menghadapi masa krisis.

Meta leader mampu menenangkan orang-orang yang dilanda ketakutan dan mengubah situasi pelik menjadi harapan. Mereka mampu melihat gambaran yang lebih besar dan sanggup mencari jalan keluar.

Ada survei menarik terkait tingkat optimisme terhadap penyelesaian perubahan iklim. Menurut studi dari IPSOS dan Futerra Solutions Union tahun 2021, sebanyak 58 persen responden optimis terhadap kesempatan kita menyelesaikan isu perubahan iklim.

Mereka punya rasa optimisme yang cukup tinggi bahwa isu perubahan iklim bisa diselesaikan, terlebih dengan berbagai terobosan teknologi.

German Lopez, penulis di New York Times, merangkum apa yang dikatakan para ahli kepadanya: Don’t give up on the future. Look for productive ways to prevent impending doom.

Optimisme yang ditunjukkan pada riset tersebut menunjukkan karakteristik seorang big thinker. Pemikir besar selalu melihat gambaran besarnya.

Steve Jobs, misalnya. Dia bisa melihat gambaran besar dari suatu permasalahan. Jika melihat sedikit latar belakangnya, Steve Jobs bukanlah pakar IT.

Dia belajar banyak hal dan mendapatkan kemampuannya dari belajar bersama ahlinya. Hal itulah yang membuat Steve Jobs bisa membesarkan Apple dan Pixar seperti sekarang.

Ignasius Jonan tiba sebelum acara pelantikan presiden dan wakil presiden di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019)KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG Ignasius Jonan tiba sebelum acara pelantikan presiden dan wakil presiden di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019)
Indonesia juga memiliki sosok seperti Steve Jobs. Dia adalah Ignasius Jonan. Mantan Menteri ESDM ini memiliki rekam jejak yang beragam, mulai dari keuangan, transportasi, hingga energi.

Pernah diceritakan, saat menjadi Direktur Utama PT KAI, dia tidak memiliki pengalaman apapun di bidang kereta api.

Namun karena ketekunannya untuk belajar dari ahlinya serta melihat permasalahan dari beragam sisi, membuatnya mampu membenahi transportasi kereta api yang kini menjadi andalan masyarakat.

Ignasius Jonan dan Steve Jobs adalah dua orang yang mampu sukses dengan menjahit ilmu dari berbagai bidang.

Dari yang awam dengan sebuah bidang, menjadi seorang ahli. Mempelajari sesuatu dari awal tentu menyita banyak waktu, energi, dan emosi, terlebih jika seseorang sudah lama berkecimpung di suatu bidang tertentu. Akan tetapi, mereka berdua mampu keluar dari zona nyamannya.

Keluar dari zona nyaman tentu membutuhkan regulasi emosi yang baik karena berkarier di bidang yang benar-benar baru.

Namun, Meta leader memiliki kecerdasan emosional yang mumpuni, sehingga mampu mengendalikan emosi dan perasaannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com