Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sepanjang 2022, Rupiah Telah Terdepresiasi 8,03 Persen, Ini Penyebabnya

Kompas.com - 20/10/2022, 20:30 WIB
Isna Rifka Sri Rahayu,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Bank Indonesia (BI) mencatat sejak 1 Januari hingga 19 Oktober 2022 (year to date) nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar 8,03 persen dibandingkan dengan level akhir 2021.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, depresiasi tersebut disebabkan oleh sangat kuatnya dollar AS. Indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) tembus rekor tertinggi 114,76 pada 28 September 2022 dan tercatat 112,98 pada 19 Oktober 2022 atau mengalami penguatan sebesar 18,1 persen (ytd) selama 2022.

"Year to date nilai tukar rupiah mengalami pelemahan yaitu sebesar 8,03 persen dibandingkan dengan penguatan dollar AS sebesar 18,1 persen," ujarnya saat konferensi pers, Kamis (20/10/2022).

Baca juga: Kini Nilai Tukar Rupiah Kian Dekati Rp 15.600 per Dollar AS

Selain itu, depresiasi rupiah juga disebabkan oleh meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global akibat pengetatan kebijakan moneter di berbagai negara maju seperti AS.

Kenaikan suku bunga acuan AS (Fed Funds Rate) yang diprakirakan lebih tinggi dengan siklus yang lebih panjang mendorong semakin kuatnya mata uang dollar AS sehingga memberikan tekanan pelemahan atau depresiasi terhadap nilai tukar di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Tekanan pelemahan nilai tukar tersebut semakin tinggi dengan ketidakpastian pasar keuangan global yang meningkat, dan di negara emerging market atau berkembang termasuk Indonesia diperberat pula dengan aliran keluar investasi portofolio asing.

"Tentu saja kita tidak menginginkan penguatan dollar AS menyebabkan perlemahan rupiah di tengah harga energi dan pangan global yang tinggi," ucapnya.

Baca juga: Dilema Ekonomi RI: Mulai Pulih dari Pandemi, Malah Diadang Inflasi dan Pelemahan Rupiah

 


Untuk itu, BI terus melakukan upaya intervensi dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar rupiah agar imported infaltion atau inflasi akibat harga impor meningkat dapat dihindari agar tidak merambat ke kenaikan inflasi dalam negeri.

"Kami juga menghindari dampak rambatannya tidak hanya kepada inflasi tapi juga kepada sektor perbankan maupun sektor korporasi. Tapi sejauh ini tingkat perlemahan (rupiah) ini tidak berdampak pada kondisi perbankan maupun korporasi," ungkapnya.

Kendati demikian, Perry bilang, depresiasi rupiah relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti India 10,42 persen, Malaysia 11,75 persen, dan Thailand 12,55 persen.

Baca juga: Pelemahan Rupiah akan Berlanjut Sampai Rp 16.000, Ini Pemicunya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com