Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Risiko Resesi Meningkat di Tahun Depan, BI Cermati 5 Tantangan Global Ini

Kompas.com - 21/10/2022, 10:15 WIB
Isna Rifka Sri Rahayu,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Bank Indonesia (BI) mencermati perkembangan ekonomi dan keuangan global di tahun depan yang diprediksi masih penuh dengan tantangan.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan setidaknya ada 5 hal yang perlu dicermati agar meningkatkan kewaspadaan untuk mengamankan ekonomi dalam negeri.

"Kondisi ekonomi dan keuangan global pada tahun depan tentu saja penuh dengan tantangan. BI melihat ada tidaknya 5 yang perlu kita cermati," ujarnya saat konferensi pers, Kamis (20/10/2022).

Baca juga: Suku Bunga Acuan BI Naik, Inflasi IHK Oktober 2022 Diprediksi Lebih Rendah

1. Perlambatan ekonomi global

Perry mengatakan, BI melihat pertumbuhan ekonomi global di tahun depan akan lebih melambat dibanding tahun ini.

"BI memperkirakan ekonomi global tahun ini 3 persen dan tahun depan 2,6 persen dengan risiko ke bawah," kata Perry.

Hal tersebut lantaran berbagai negara maju mengamai perlambatan ekonomi dan pengetatan moneter yang kemudian akan menyebabkan perlambatan ekonomi di negara berkembang seperti Indonesia.

Dia bilang, perlambatan ekonomi ini utamanya akan terjadi di Amerika Serikat (AS) yang diperkirakan pertumbuhan ekonominta hanya tumbuh 1,2 persen di 2023. Melambat dibandingkan pertumbuhan ekonomi tahun ini yang diperkirakan masih tumbuh 2,5 persen.

Kemudian Eropa juga hanya tumbuh 0,7 persen di 2023 serta negara-negara maju lain seperti Tiongkok.

Baca juga: Sentimen Kenaikan Suku Bunga Acuan BI Berpotensi Kembali Dongkrak IHSG

2. Inflasi global tinggi

Perry menyebut, inflasi global diperkirakan akan melonjak dari inflasi tahun ini yang diperkirakan sebesar 9,2 persen. Inflasi global ini disumbang oleh negara-negara maju maupun berkembang di mana inflasi yang terjadi di negara berkembang akan lebih tinggi.

"8,2 persen di Amerika, 9,2 persen di Eropa dan juga bahkan sangat tinggi di negara negara emerging market (berkembang) seperti Brazil, Turki, Argentina maupun yang lain-lain," ucapnya.

Inflasi yang tinggi ini merupakan imbas dari ketegangan geopolitik, fragmentasi ekonomi dan perdagangan, serta masih berlanjutnya gangguan mata rantai perdagangan global.

Ketegangan geopolitik yang dimaksud tidak hanya yang terjadi antara Rusia dan Ukraina saja, tetapi juga ketegangan antara AS dan Tiongkok.

"Ini tentu menyebabkan pertumbuhan ekonomi global yang menurun dan gangguan mata rantai tadi, juga menyebabkan inflasi yang tinggi," kata dia,

Baca juga: Imbas Suku Bunga BI Naik Jadi 4,75 Persen, Suku Bunga Kredit dan Deposito Bank Ikut Naik


3. Kenaikan suku bunga yang agresif

Dengan kenaikan inflasi yang tinggi tersebut, bank sentral negara-negara yang terkena tentu akan memitigasinya melalui kenaikan suku bunga acuan yang agresif agar inflasi dapat lebih terkendali.

Misalnya seperti yang saat ini terjadi di AS dengan inflasi yang mencapai 8,2 persen, bank sentral AS (The Fed) telah 5 kali menaikkan suku bunga acuannya sepanjang 2022 dengan total kenaikan 300 basis poin atau 3 persen.

Bahkan BI memperkirakan The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuannya menjadi 4,5 persen dan tren kenaikan masih dapat terjadi di tahun depan menjadi 4,75 persen sehingga suku bunga acuan AS mencapai level tertingginya.

"Demikian juga kenaikan suku bunga terjadi di Eropa," tambah Perry.

Dia melanjutkan, padahal kenaikan suku bunga acuan ini belum tentu dapat langsung menurunkan inflasi di negara-negara maju tersebut. Pasalnya, penyebab inflasi mereka tidak hanya disebabkan oleh permintaan tapi juga dari sisi pasokan.

"Inilah yang muncul risiko-risiko stagflasi, stagnansi inflasi, stagnansi pertumbuhan dan inflasi yang tinggi. Bahkan di sejumlah negara termasuk juga probabilitas Amerika Serikat memasuki resesi itu juga meningkat, terakhir angkanya adalah 50 persen lebih tinggi dari perkiraan perkiraan sebelumnya," jelasnya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com