Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia di Tengah Bayang-bayang Resesi Global

Kompas.com - 21/10/2022, 12:40 WIB
Yohana Artha Uly,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah lembaga internasional memproyeksi resesi akan mengancam pertumbuhan ekonomi global pada 2023. Dana Moneter Internasional. (International Monetary Fund/IMF) memprediksi ekonomi global hanya tumbuh 2,7 persen di tahun depan.

Proyeksi dalam laporan World Economic Outlook (WEO) terbaru itu turun dibandingkan prediksi pada laporan Juli 2022 yang sebesar 2,9 persen. Proyeksi itu juga lebih rendah dari perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun ini yang sebesar 3,2 persen.

Di sisi lain, Bank Dunia (World Bank) melalui laporan berjudul 'Apakah Resesi Global Sudah Dekat?' pada September 2022, membuat skenario terburuk dari kondisi di 2023. Pada tahun depan ekonomi global akan berkurang 1,9 persen poin atau dari 2,4 persen menjadi 0,5 persen, atau terkontraksi 0,4 persen per kapita, yang akan memenuhi definisi teknis dari resesi global.

"Pertumbuhan global melambat tajam, dengan kemungkinan perlambatan lebih lanjut karena lebih banyak negara jatuh ke dalam resesi," ujar Presiden Bank Dunia David Malpass dalam keterangannya, Jumat (16/9/2022).

Baca juga: Risiko Resesi Meningkat di Tahun Depan, BI Cermati 5 Tantangan Global Ini

Sejalan dengan proyeksi lembaga-lembaga internasional, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun dalam beberapa kesempatan selalu menyinggung bahwa kondisi ekonomi dunia akan gelap pada 2023. Begitu pula dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengakui adanya potensi resesi global pada tahun depan.

Menurut studi Bank Dunia, pelemahan ekonomi global terjadi seiring dengan kebijakan bank-bank sentral di seluruh dunia yang secara bersamaan menaikkan suku bunga acuannya sebagai respons untuk mengendalikan lonjakan inflasi.

Saat ini dunia memang sedang dihadapkan gejolak ekonomi akibat masih memanasnya konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang membuat pasokan pangan dan energi global terganggu sehingga mengerek inflasi di seluruh negara.

Bank Dunia menilai, kini bank-bank sentral di seluruh dunia telah menaikkan suku bunga di tahun ini dengan tingkat sinkronisitas yang belum pernah terjadi selama lima dekade terakhir. Tren kenaikan suku bunga ini bahkan diproyeksi masih akan berlanjut hingga tahun depan.

Lalu bagaimana kondisi ekonomi Indonesia di tengah bayang-bayang resesi global?

Kendati terus mengingatkan adanya risiko resesi global di tahun depan, pemerintah menyakini ekonomi Indonesia cukup berdaya tahan. Hal ini seiring dengan proyeksi berbagai lembaga internasional bahwa ekonomi RI masih akan tumbuh positif di kisaran 5 persen.

Dalam laporan terbaru, IMF dan Asian Development Bank (ADB) memperkirakan ekonomi RI akan tumbuh 5 persen pada 2023, kendati proyeksi itu turun dari perkiraan sebelumnya yang sebesar 5,2 persen. Sementara Bank Dunia memproyeksi ekonomi RI bisa tumbuh 5,1 persen di tahun depan, turun dari proyeksi sebelumnya sebesar 5,3 persen.

Baca juga: Potensi Resesi Global 2023, Ini Investasi yang Disarakan Robert Kiyosaki

Klaim Sri Mulyani ekonomi RI cerah

Sri Mulyani mengatakan, Indonesia berada di titik terang ketika IMF dan Bank Dunia memberikan gambaran bahwa kondisi perekonomian dunia akan kelam dan muram pada 2023.

"Kalau IMF, World Bank menggunakan kata-kata dark atau menjadi kelam atau muram untuk 2023. Namun Indonesia dianggap sebagai the bright spot dalam situasi kondisi dunia yang semakin memburuk," ujarnya dalam Seminar Nasional Badan Keahlian DPR RI, Rabu (19/10/2022).

Menurutnya, ada beberapa alasan yang membuat Indonesia menjadi salah satu the bright spot. Di antaranya pertumbuhan ekonomi yang terjaga di kisaran 5 persen, pada kuartal I-2022 ekonomi RI tumbuh 5,01 persen dan kuartal II-2022 tumbuh 5,44 persen.

Selain itu level output ekonomi atau PDB riil Indonesia sudah mencapai 7,1 persen pada paruh pertama 2022, berada di atas level sebelum terjadi pandemi Covid-19 atau melampaui level tahun 2019.

Ekonomi Indonesia juga dinilai berdaya tahan karena ditopang permintaan domestik yang masih kuat, sehingga menjadi motor pertumbuhan dan pemulihan. Ini tercermin pada indeks keyakinan konsumen (IKK) yang masih berada di atas 100, yaitu sebesar 117,2 poin pada Oktober 2022, meski turun dibandingkan bukan sebelumnya yang sebesar 124,7.

Selain itu, laju inflasi Indonesia dinilai masih moderat di antara negara peers lainnya. Adapun tingkat inflasi Indonesia tercatat sebesar 5,9 persen (year on year/yoy) per September 2022.

Pada sisi eksternal juga dinilai cukup sehat, tercermin dari kinerja transaksi berjalan dan neraca perdagangan yang surplus. Transaksi berjalan tercatat surplus 3,9 miliar dollar AS atau 1,1 persen terhadap PDB pada kuartal II-2022, sementara neraca perdagangan surplus 4,99 miliar dolar AS pada September 2022.

Pertimbangan lainnya, menurut Sri Mulyani, didukung tingkay pengangguran dan kemiskinan yang juga mengalami penurunan. Serta penerapan kebijakan fiskal yang prudent (hati-hati) dan produktif, juga berlanjutnya reformasi sektor keuangan seperti pendalaman pasar dan penguatan stabilitas.

Kendati demikian, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menekankan, Indonesia harus tetap waspada meski ekonominya cukup cerah, sebab ketidakpastian global masih sangat tinggi dan akan berlanjut hingga tahun depan.

"Kita harus tetap waspada karena bright spot ini harus kita jaga bersama," kata dia.

Baca juga: Sri Mulyani: Ekonomi RI Dianggap Cerah dalam Kondisi Dunia yang Makin Memburuk...

Laporan IMF

Pandangan Sri Mulyani itu sejalan dengan penilaian IMF dalam laporan regional terbaru bertajuk 'Asia Sails Into Headwinds From Rate Hikes, War, and China Slowdown'. Lembaga itu menyakini ekonomi Asia akan cukup kuat di tengah pelemahan ekonomi global.

Ekonomi Asia pada tahun ini memang mengalami tantangan berat mulai dari kenaikan suku bunga, perang antara Rusia dan Ukraina, dan melemahnya aktivitas ekonomi China, meski demikian IMF menyebut tetap ada 'titik terang' pada wilayah ini di tengah gelapnya ekonomi global.

"Asia tetap menjadi titik terang relatif dalam ekonomi global yang semakin meredup," tulis IMF dalam laporannya dikutip Selasa (18/10/2022).

IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Asia dan Pasifik sebesar 4 persen pada tahun ini, dan sebesar 4,3 persen pada 2023. Kedua proyeksi itu memang masih di bawah rata-rata pertumbuhan dalam dua dekade terakhir yang mencapai 5,5 persen.

Namun, angka itu lebih tinggi dari proyeksi pertumbuhan di kawasan Eropa yang sebesar 3,1 persen di 2022 dan sebesar 0,5 persen di 2023. Begitu pula dengan pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat yang diproyeksi 1,6 persen di 2022, dan sebesar 1 persen di tahun depan.

Proyeksi pertumbuhan kawasan Asia itu bahkan lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan mencapai 3,2 persen di 2022, serta menjadi sebesar 2,7 persen pada 2023.

IMF menyebut Asia Tenggara kemungkinan menjadi wilayah di kawasan Asia yang akan menikmati pemulihan kuat. Ini tercemin dari pertumbuhan ekonomi yang tetap positif di sejumlah negara Asia Tenggara.

Baca juga: Asia Jadi Titik Terang di Tengah Gelapnya Ekonomi Global

Pandangan ekonom

Mantan Menteri Keuangan sekaligus Ekonom Senior dari Universitas Indonesia, Chatib Basri menilai, dampak dari risiko resesi global akan tetap dirasakan Indonesia, namun kondisi itu tidak membuat RI masuk ke dalam jurang resesi.

"Apakah ekonomi Indonesia akan mengalami resesi" Menurut saya tidak, yang terjadi adalah perlambatan ekonomi," ujarnya dalam unggahan video pada akun instagram pribadinya @chatibbasri dikutip Kamis (20/10/2022).

Ia memperkirakan, dampak resesi global terasa ke Indonesia melalui jalur perdagangan dan keuangan. Pada sisi jalur perdagangan akan mengakibatkan melambatnya ekspor Indonesia, namun dampaknya relatif terbatas pada ekonomi nasional.

Lantaran, kontribusi ekspor Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) relatif kecil yaitu 25 persen. Di samping itu, RI juga diuntungkan dari kondisi kenaikan harga batu bara akibat perang Rusia dan Ukraina, sehingga mengkompensasi penurunan ekspor lainnya.

"Maka dampak dari jalur perdagangan terhadap ekonomi indonesia relatif terbatas," katanya.

Pada sisi jalur keuangan, akan membuat tekanan terhadap kurs rupiah akibat menguatnya dollar AS. Penguatan dollar AS itu akibat seiring pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yang lebih baik dari kawasan Eropa, diikuti dengan kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS.

Di sisi lain, pelemahan kurs rupiah bersamaan pula dengan kebijakan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia yang bertujuan menekan tingginya inflasi. Kenaikan suku bunga akan mempengaruhi biaya utang yang semakin mahal, sehingga akan berdampak pada investasi yang dilakukan perusahaan dan konsumsi masyarakat.

"Di samping itu konsolidasi fiskal juga akan membuat dampak kepada perekonomian Indonesia," imbuh dia.

Oleh sebab itu,Chatib meyarankan untuk pemerintah memberikan prioritas pada kebijakan perlindungan sosial guna mengantisipasi dampak pelemahan ekonomi nasional akibat adanya resesi global.

Baca juga: Apa Itu Resesi: Simak Pengertian, Penyebab, dan Dampaknya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com