Cerita sukses di media sosial apalagi melibatkan sosok dikenal publik, lanjut dia, wajar membuat orang cenderung mudah terbujuk untuk ikut-ikutan dan bahkan rentan terjerat skema penipuan.
"Jebakannya termasuk lebih susah memfilter mana yang benar-benar kaya (sehingga investasinya patut ditengok) dan mana yang sekadar pencitraan. Kalau enggak jeli, gampang silau," ujar Ruisa.
Dari semuanya, Ruisa mengingatkan bahwa investasi juga butuh bekal ilmu dan pengetahuan, sehingga pilihan strateginya pun terukur.
"Ingat, investasi itu cara untuk mengembangkan aset. Kalau tidak matang (pengetahuannya dan langsung masuk ke wilayah investasi berisiko besar), gampang terjebak greedy, bahkan rentan pula kena penipuan berkedok investasi," ungkap Ruisa.
Merujuk data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), orang Indonesia yang disebut sudah benar-benar terliterasi keuangan belum sampai 40 persen. Artinya, yang bersangkutan sudah benar-benar paham manfaat, instrumen, dan risiko dari setiap langkah keuangannya, termasuk dalam hal investasi.
Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang digelar OJK pada 2019 mendapati tingkat literasi keuangan dan inklusi keuangan 2019 masing-masing mencapai 38,03 persen dan 76,19 persen.
"Yang satu (literasi keuangan) bicara soal pengetahuan, benar-benar tahu. Yang satunya lagi (inklusi keuangan), punya instrumen keuangan tapi belum tentu tahu," papar Ruisa.
Menurut Ruisa, data itu memperlihatkan banyak orang punya instrumen keuangan tetapi tidak paham profil dan risikonya.
Kehadiran media sosial sejatinya bisa dilihat sebagai hal bagus untuk mendorong literasi. Lonjakan peminat bursa yang didominasi milenial dan generasi Z, sebut Ruisa, harus diakui sebagai bukti pengaruh media sosial.
Sayangnya, banjir informasi juga kerap hanya sepotong-sepotong sehingga malah membuat orang melompat terlalu tinggi ketika memasuki ranah investasi.
"Dana darurat belum ada, padahal persiapan duit wajib di depan, tetapi sudah spekulasi ke produk advance. Itu yang tidak imbang kecepatannya," tutur dia.
Selain mendorong regulator untuk lebih masif mematangkan literasi keuangan masyarakat, Ruisa juga meminta pemilihan influencer—bila memang harus memakainya—semestinya yang benar-benar mendidik dan bukan sekadar mendorong cara cepat menjadi kaya.
"Harus kasih pengetahuan dari nol, dari basic keuangan, membenahi cashflow. Perlu didorong menabung dulu, penuhi kewajiban dulu termasuk persiapan dana darurat," sebut Ruisa.
Merujuk OJK, dana darurat bagi seseorang yang belum menikah dan tak ada tanggungan setidaknya 3-6 kali gaji atau pendapatan. Adapun bagi mereka yang sudah berkeluarga, besaran dana darurat yang harus tersedia paling tidak adalah 6-12 kali gaji atau pendapatan.
Bila mendapat uang kaget dalam nominal besar, lanjut Ruisa, penempatannya pun sebaiknya dipakai untuk memenuhi alokasi kebutuhan pada masa depan.