Dia juga menekankan perlunya bantuan langsung dari pemerintah sehingga aksi-aksi korporasi akan terus berkembang sehingga Indonesia dapat mencapai target penurunan emisi karbon.
“Salah satu hal yang paling menyulitkan perusahaan dalam dekarbonisasi industri adalah ketersediaan dan akses kepada energi ramah lingkungan,” tegas Yusrizki.
Saat ini investor disebut Yusrizki mulai menetapkan persyaratan baru dalam pengambilan keputusan investasi, misalnya akses kepada energi bersih, kadar emisi dalam jaringan kelistrikan nasional, dan poin-poin terkait mitigasi bencana alam.
“Singkatnya, investor dan perusahaan multi nasional tidak mau berinvestasi di negara-negara dengan emisi karbon yang tinggi. Ini akan sangat mempengaruhi Foreign Direct Investment ke Indonesia, baik investasi baru maupun investasi yang saat ini masih berjalan,” ungkapnya.
Beberapa parameter konvensional dalam investasi, seperti ketersediaan buruh murah dan kemudahan perizinan, berangsur akan mulai digantikan dengan parameter baru seperti ketersediaan dan akses kepada energi bersih, tingkat emisi karbon dalam jaringan kelistrikan nasional (grid emission factor).
Sebagai contoh, saat ini, sebanyak 370 perusahaan multinasional bergabung dalam inisiatif global RE100 dengan komitmen menggunakan energi terbarukan secara bertahap, yaitu 60 persen di tahun 2023, 90 persen di tahun 2040, dan 100 persen di tahun 2060.
Dari 370 perusahaan tersebut, banyak yang saat ini sedang melakukan kegiatan usaha di Indonesia.
Sesuai dengan komitmen RE100 yang sudah ditandatangani, perusahaan-perusahaan tersebut berlomba-lomba dalam mencapai target penggunaan energi terbarukan di seluruh lini usaha dan produksi di seluruh negara tempat mereka melakukan kegiatan usaha, termasuk Indonesia.
Indonesia sendiri tertinggal dalam penyediaan energi terbarukan di kawasan ASEAN.
Vietnam, Kamboja, dan Thailand yang lebih unggul dalam penyediaan energi bersih dengan kapasitas terpasang energi terbarukan masing-masing sebesar 55,8 persen, 54,8 persen, dan 30,3 persen, sementara Indonesia berada di angka 14,8 persen (ASEAN Power Updates, 2021).
“Secara logika, perusahaan akan meningkatkan investasinya di negara-negara dengan ketersediaan dan akses kepada energi hijau, dan akan meninggalkan negara-negara yang tidak dapat memenuhi kebutuhan akan energi bersih. Ini satu hal yang harus disadari oleh khususnya pengambil kebijakan,” imbuhnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.