Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menilik Potensi Risiko Dibalik Penggunaan Batu Bara Sebagai Sumber Energi Primer PLN

Kompas.com - 26/10/2022, 19:10 WIB
Kiki Safitri,
Akhdi Martin Pratama

Tim Redaksi


JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam sepuluh tahun terakhir, inefisiensi penggunaan sumber daya serta perubahan iklim yang ekstrim menjadi perhatian khusus. Indonesia menghadapi risiko yang lebih tinggi dibandingkan negara lain akibat perubahan iklim.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, biaya akibat cuaca ekstrem dapat mencapai 40 persen dari PDB Indonesia dalam bentuk hilangnya peluang investasi, hambatan ekspor, impor wajib produk hijau, dan terbatasnya akses pembiayaan global pada tahun 2050.

Dia bilang, risiko krisis iklim global semakin mengancam pertumbuhan ekonomi dan serapan lapangan kerja, oleh karena itu transisi menuju ekonomi hijau menjadi sangat urgent untuk segera diimplementasikan.

Baca juga: Erick Thohir Ingin Pertamina, PLN, dan Star Energy Merger

“Transisi dari sumber energi primer berbasis fosil menjadi salah satu langkah paling vital yang dapat diambil untuk mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim” kata Bhima di Jakarta, Rabu (26/10/2022).

Namun demikian, batu bara hingga kini masih menjadi sumber energi listrik utama di Indonesia yang menyokong kapasitas hingga 36,98 Giga Watt yang setara dengan 50 persen dari total energi pembangkit listrik.

Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai penyedia pasokan listrik utama di Indonesia memiliki peran strategis untuk turut berkontribusi dalam menyukseskan target untuk mencapai puncak emisi gas rumah kaca (GRK) nasional pada tahun 2030 dan mencapai net zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat.

Di sisi lain, Bhima menyebut saat ini PLN menghadapi potensi risiko finansial apabila ketergantungan terhadap dominasi batu bara sebagai sumber energi primer listrik masih berlanjut. Mengapa demikian?

Pertama, volatilitas harga batu bara di pasar internasional membuat PLN bergantung pada subsidi listrik APBN yang mencapai Rp 56,4 triliun pada tahun 2022.

“Ini menimbulkan kekhawatiran di mana PLN harus menanggung selisih antara biaya pembangkit listrik dengan tarif subsidi pemerintah. Sementra itu, cash flow margin PLN yang relatif kecil dapat menimbulkan default risk (risiko gagal bayar utang),” lanjutnya.

Baca juga: Penuhi Target Pembangkit EBT 28,9 GW, Ini yang Dilakukan PLN

Bhima menjelaskan, PLN juga memiliki beban lain berupa kontrak jual beli tenaga listrik dengan produsen tenaga listrik swasta (Independent Power Producers/IPPs) dengan PLN yang menggunakan skema take or pay, yang berarti digunakan atau tidaknya listrik yang dihasilkan PLN tetap membayar sesuai dengan ketentuan yang disepakati.

Padahal, IPP yang ada sebagai besar merupakan pembangkit listrik dengan tenaga baru bara. Maka, hal-hal tersebut dapat menyebabkan ancaman krisis energi, peningkatan risiko keuangan PLN, dan oversupply listrik dalam jangka panjang.

Akbar Fadzkurrahman selaku Peneliti Celios mengatakan, PLN juga memiliki potensi kerugian yang dapat berdampak pada pemangku kepentingan, salah satunya adalah pemegang obligasi (surat utang) PLN.

“Selain risiko keuangan, risiko yang dapat dialami investor adalah penurunan peringkat utang PLN mengingat semakin intensnya komitmen terhadap implementasi ESG (Environment, Social, Governance) secara global,” jelas Akbar.

Akbar mengungkapkan, pemegang obligasi baik institusi asing, perbankan maupun investor ritel memiliki peran yang signifikan dalam mengubah arah kebijakan PLN. Total kewajiban terkonsolidasi PLN mencapai Rp 187 triliun dari penerbitan obligasi pada 2021 atau memiliki porsi 38,5 persen dari total kewajiban jangka panjang.

Akbar mengatakan untuk meminimalisir potensi risiko finansial dan nonfinansial yang muncul, ada baiknya PLN menahan pembangunan PLTU baru. PLN juga diharapkan dapat melakukan komunikasi efektif dengan bondholders (pemegang obligasi) untuk mencegah penurunan peringkat utang PLN yang cukup vital bagi kelangsungan usaha PLN.

“PLN juga diharapkan dapat mengintensifkan gerakan transisi energi bersih untuk mengakomodasi eksternalitas negatif dan risiko atas pembangunan PLTU baru yang masih menggunakan batu bara sebagai sumber energi utama,” tegas dia.

Baca juga: Percepat Pensiun Dini PLTU Batu Bara, PLN Siapkan Roadmap

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com