JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, sebanyak 60 negara diperkirakan dalam situasi terlilit utang atau debt distress.
Kondisi tersebut pun dapat semakin memburuk dan membawa suatu negara ke dalam krisis utang, seperti yang lebih dulu dialami Sri Lanka.
"Saat ini ada lebih dari 60 negara yang diperkirakan dalam situasi debt distress atau kondisi keuangan dan utangnya dalam kondisi distress, yang kemungkinan bisa kemudian memicu krisis utang maupun krisis keuangan atau krisis ekonomi," ujarnya dalam acara PLN: Leaders Talk Series #2, Rabu (26/10/2022).
Ia menyebutkan, kondisi sejumlah negara terlilit utang disebabkan sejumlah faktor. Mulanya, pandemi Covid-19 telah membuat APBN suatu negara bekerja sangat keras untuk memulihkan sektor kesehatan dan ekonomi, namun seiring terkendalinya pandemi dan pulihnya ekonomi membuat terjadinya disrupsi dari sisi rantai pasok sebab permintaan meningkat pesat.
Baca juga: Naik, Utang Pemerintah per September 2022 Mencapai Rp 7.420 Triliun
Hal itu memicu terjadinya kenaikan harga sejumlah komoditas, yang kemudian semakin diperparah akibat terjadinya perang antara Rusia dan Ukraina. Perang kedua negara ini telah membuat terjadinya krisis pangan, pupuk, dan energi, sehingga berdampak pada lonjakan inflasi di seluruh negara.
Alhasil, lonjakan inflasi itu direspons oleh bank-bank sentral di seluruh dunia dengan mengetatkan likuiditas dan menaikkan suku bunga acuan. Seperti bank sentral Amerika Serikat, yang sepanjang tahun ini sudah menaikkan suku bunga 300 basis poin.
Kebijakan itu pun membuat dollar AS menguat, memukul seluruh mata uang di dunia meningat sebagian besar transaksi perdagangan di dunia menggunakan dollar AS. Tren kenaikan suku bunga acuan juga turut berdampak pada meningkatnya biaya utang.
"Kondisi inilah yang kemudian menimbulkan tekanan semakin besar, banyak negara situasinya sudah rapuh waktu terjadi pandemi karena mereka harus melakukan banyak langkah-langkah extraordinary, termasuk menggunakan instrumen fiskalnya, maka negara ini kemudian semakin rapuh," ungkap Sri Mulyani.
Kondisi ekonomi global yang kini dibayangi krisisi energi dan pangan, lonjakan inflasi, pengetatan likuiditas, kenaikan suku bunga, bahkan potensi resesi di tahun depan, perlu diwaspadai. Terlebih bagi negara-negara yang kondisi keuangan negaranya sudah rapuh karena sangat rentan mengalami krisis keuangan atau krisis utang.
"Ekstremnya seperti kita lihat apa yang terjadi di Sri Lanka, yang barangkali kita lihat dalam bentuk foto-foto, atau kejadian krisis politik, sosial, ekonomi yang kompleks," tutupnya.
Baca juga: Sri Mulyani Sebut Banyak Negara Terancam Alami Gagal Bayar Utang
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.