Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Yohanes Berchman Suhartoko
Dosen

Dosen dan Peneliti Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta

Refleksi Keberadaan BI, OJK, LPS dan Efektivitas Mekanisme Transmisi Moneter dalam RUU PPSK

Kompas.com - 31/10/2022, 10:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BEBERAPA waktu lalu pada awal pandemi Covid-19, lingkungan keuangan dan moneter di Indonesia diwarnai suatu isu yang cukup signifikan dalam membawa kondisi organisasi Bank Indonesia ke depan.

Isu ini muncul berkaitan dengan pembicaraan berbagi beban yang cukup alot antara pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.

Apakah sekadar upaya untuk mendorong BI mau berbagi beban, sehingga dikemukakan isu rancangan undang-undang mengenai BI yang baru.

Rancangan UU yang belum menjadi pembahasan di DPR telah menyentuh substansi keberadaan BI. Rancangan perubahan UU mengenai BI saat itu menimbulkan pro kontra, karena menyangkut aspek yang sangat esensial, yaitu penurunan independensi Bank Indonesia dalam hal proses dan pelaksanaan kebijakan moneter.

Otoritas BI dalam kebijakan moneter direduksi cukup signifikan yang tercermin dalam pembentukan Dewan Moneter.

Dewan Moneter akan terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri Perekonomian, Gubernur BI, Deputi Gubernur Senior BI, dan Ketua Dewan Komisioner OJK.

Selain kelima unsur tersebut, anggota Dewan Moneter juga dapat ditambah dengan anggota penasihat yang diambil dari menteri presiden.

Keberadaan Dewan Moneter ini akan memberikan ruang yang cukup luas bagi eksekutif untuk mengontrol kebijakan moneter.

Seiring cairnya koordinasi berbagi beban penanganan Covid-19, isu mengenai UU BI yang baru menghilang dalam diskusi dan perdebatan di masyarakat.

Pada September 2022 lalu, kembali muncul diskusi dan perdebatan kembali mengenai keberadaan BI. Hal ini berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) alias Omnibus Law Keuangan resmi dilanjutkan menjadi RUU usulan DPR RI.

Disahkannya RUU Omnibus Law Keuangan pada sidang paripurna pada Selasa, 20 September 2022, maka RUU tersebut akan menjadi RUU prioritas program legislasi nasional (Prolegnas) 2023.

Dibandingkan isu yang berkembang pada awal pandemi, diskusi dan debat tentunya akan lebih intensif, karena potensi untuk disahkannya RUU PPSK menjadi UU menjadi lebih besar.

Berbagai aturan sektoral akan mengalami perubahan secara substantial di dalam RUU PPSK, mulai dari aturan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), hingga Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

Ekosistem sektor keuangan di antaranya kelembagaan, perbankan, pasar modal baik itu pasar uang, pasar valuta asing, perasuransian, asuransi usaha bersama, program penjaminan polis akan diatur dalam RUU PPSK.

Keberadaan BI

Keberadaan BI sebagai agen pembangunan dimunculkan dalam RUU PPSK. Mandat BI sebagai bank sentral juga ditambah, bukan hanya memelihara stabilitas nilai rupiah, memelihara stabilitas sistem pembayaran dan stabilitas sistem keuangan. Namun, kini BI juga harus mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com