KETIDAKSEIMBANGAN pasokan dan permintaan global di tengah pandemi Covid-19 serta adanya invasi Rusia ke Ukraina telah memberikan tekanan berat terhadap terjadinya inflasi harga pangan dan energi di dunia.
Bank for International Settlements (BIS) mencatat inflasi tahunan di Amerika Serikat (AS) pada September 2022 mencapai 8,2 persen, sedangkan Inggris 10,1 persen, dan di kawasan Eropa mencapai 9,9 persen. Angka-angka itu merupakan rekor tertinggi dalam empat dekade terakhir.
Inflasi yang tinggi di negara maju telah direspons dengan normalisasi kebijakan moneter melalui kenaikan suku bunga acuan secara masif. Tercatat dalam kurun 10 bulan terakhir, The Fed telah menaikan suku bunga acuan sebanyak enam kali dengan kenaikan tertinggi pada Oktober 2022, sebesar 75 basis poin yang juga diikuti Bank Sentral Eropa dan banyak bnk sentral negara lain yang menaikan suku bunga secara proporsional.
Baca juga: Indonesia di Tengah Bayang-bayang Resesi Global
Fenomena global itu memberikan lesson learned, perang Rusia-Ukraina telah memicu tingginya inflasi di negara maju. Kondisi geopolitik yang memicu inflasi itu direspon dengan instrumen kebijakan moneter ketat di negara maju yang kemudian diikuti oleh banyak negara.
Trend peningkatan suku bunga akan mendorong terjadinya ketidakpastian di pasar keuangan global dan mendorong perekonomian masing-masing negara lebih rentan terhadap gejolak eksternal.
Kenaikan suku bunga acuan secara agresif di negara maju memberikan konsekuensi risiko tejadinya capital flight investasi portofolio asing yang mendorong penguatan dolar AS dan menekan pelemahan nilai tukar mata uang di berbagai negara.
Untuk menjaga stabilitas, bank sentral di banyak negara telah merespon dengan menaikan suku bunga acuan sehingga terjadi shifting fundamental ekonomi dari era suku bunga rendah ke suku bunga tinggi.
Perlu dicatat bahwa suku bunga tinggi yang tidak diiringi dengan bauran kebijakan yang akomodatif terhadap pertumbuhan akan memberikan risiko terjadinya perlambatan ekonomi atau memicu resesi.
Peningkatan risiko resesi telah teridentifikasi oleh International Monetary Fund (IMF) dengan menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2023 menjadi 2,7 persen, lebih rendah dibandingkan dengan 2022. Penurunan kinerja ekonomi global dapat berdampak negatif terhadap kinerja ekspor negara penghasil bahan baku sehingga menurunkan pertumbuhan ekonomi lebih dalam.
Sebagai antisipasi terjadinya krisis, IMF telah menyetujui pemberian bantuan kepada 16 negara dalam sepuluh bulan terakhir. Selanjutnya, terdapat 28 negara sedang mengusulkan bantuan kepada IMF sebagai langkah antisipasi dalam menghadapi gejolak eksternal yang semakin tidak pasti.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.