Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Dr. Ahmad M Ramli
Guru Besar Cyber Law & Regulasi Digital UNPAD

Guru Besar Cyber Law, Digital Policy-Regulation & Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Masih Perlukah Ijazah Perguruan Tinggi untuk Bekerja?

Kompas.com - 07/11/2022, 09:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERTANYAAN bombastis ini bukan tanpa alasan. Saat ini banyak korporasi telah meniadakan persyaratan ijazah untuk melamar kerja di perusahaan mereka.

Bukan hanya perusahaan kecil, korporasi raksasa global seperti Google, Apple, Intel, IBM, sudah lebih dulu menyatakan tidak perlu ijazah untuk bekerja di perusahaan mereka. Hal yang sama juga dilakukan oleh PWC, Ernst & Young, Virgin Media, Hilton, dll

Di AS sebuah perusahaan dengan gamblang menulis:

Best Jobs Without A College Degree. Do you need a college degree to hit the job market? Maybe not. College isn't for everyone, but skipping out on a degree doesn't mean missing out on a high-paying job. (money.usnews.com, best jobs without a college degree).

Perusahaan itupun kemudian menawarkan daftar puluhan lowongan pekerjaan yang tak memerlukan ijazah.

Namun benarkah ijazah sudah tidak diperlukan lagi? Jawabannya tentu tidak bisa disimplifikasi.

Lynn Berger, seorang pakar, dosen bidang karir dan konselor yang berbasis di New York mengatakan kepada Business Insider tentang apa yang harus dilakukan jika anak kita tidak ingin mendapatkan gelar sarjana (Lisa Eadicicco businessinsider.com, 8/10/2020).

Lynn Berger intinya menyatakan, bahwa dengan melakukan hal itu (memilih tidak menempuh pendidikan berijazah), mereka mungkin mengambil rute yang lebih sulit.

Dalam kenyataannya, memang penentuan siapa yang diterima bekerja tetap didasarkan pada unsur kemampuan. Mereka yang belajar di perguruan tinggi dan memiliki ijazah akan tetap memiliki keunggulan komparatif dibanding yang tidak.

Perguruan tinggi tidak sekadar memberikan bekal dan landasan akademik, tetapi juga atmosfer lingkungan sosial intelektual, idealisme, integritas, networking, adaptasi, human relation, empati, dan solidaritas kolektif.

Kesimpulannya, kuliah di kampus dan mendapat ijazah secara formal adalah hal penting, dan tetap perlu dilakukan.

Dengan demikian seharusnya, frasa “ijazah tidak diperlukan” akan relevan dibaca dalam konteks, “non diskriminatif berbasis disiplin ilmu”.

Siapapun dan dengan latar pendidikan apapun prinsipnya bisa berkesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang ditawarkan tanpa sekat akademik.

Hal ini tentu dengan tetap mengecualikan kebutuhan SDM sangat spesifik, yang keahliannya tidak mungkin disubstitusi disiplin ilmu lain, seperti dokter di rumah sakit, atau lawyer yang harus beracara di pengadilan dengan lisensi tertentu, dll.

Maraknya model pelatihan tentang digital talent, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah seperti Kemkominfo, berbagai universitas ternama dunia, maupun oleh korporasi digital global seperti Google, telah membuka ruang non diskriminasi ini semakin lapang.

Karena pengetahuan dan keterampilan digital memang sudah menjadi ranah bagi semua orang apapun latar belakang akademiknya, dan unsur digital telah memasuki hampir seluruh sendi kehidupan kita.

Tidak linier

Jika bicara karir dan kesuksesan sesorang, Bill Gates adalah salah satu contoh paling spektakuler. Awalnya, Ia diterima dan kuliah sebagai mahasiswa Fakultas Hukum di Harvard University, tapi kemudian sukses di bidang teknologi informasi.

Namun jangan salah, sambil kuliah, meskipun akhirnya drop out, Bill Gates juga mengambil kursus algoritma dan matematik level advance di universitas termasyur itu (lihat Anne Dennon, Bill Gates Dropped Out of Harvard. Now, He’s Helping College Students Succeed bestcolleges, 5/1/ 2022).

Bill Gates saat memutuskan terjun ke industri software dan aplikasi komputer, tidak langsung keluar dari Harvard. Ia memilih cuti akademik dengan strategi, jika gagal di dunia IT, ia tetap bisa kembali kuliah hukum di kampus bergengsi itu.

Saat ini, memang banyak pekerjaan yang tidak selalu linier dengan disiplin ilmu yang ditempuh sebelumnya. Namun bukan berarti ijazah tidak perlu.

Seperti telah diutarakan, kebijakan ini harus lebih dipandang sebagai prinsip non diskriminatif akademik, dan mengutamakan realitas kemampuan, talenta, dan leadership. Tentu dasar penilaiannya tetap kapasitas individualnya.

Bidang-bidang di level tertentu yang sangat teknis, termasuk coding, algoritma, developer platform digital tentu akan lebih mudah dikerjakan oleh mereka yang disiplin ilmunya sejak awal mendukung seperti teknik informatika.

Meskipun dengan tidak menapikan, kemungkinan adanya orang yang memiliki kapasitas secara otodidak, atau belajar secara non formal.

Tidak linier juga dapat dimaknai secara luas. Jabatan tertentu pada level pengambil keputusan, misalnya, memang akan relatif lebih mudah dilakukan oleh individu yang memiliki helicopter view dan visi jauh ke depan, bukan hanya sekadar ahli di bidang tertentu yang sangat spesifik.

Dalam hal ini, kapasitas seseorang tidak hanya diukur oleh disiplin ilmu awalnya di perguruan tinggi.

Pengalaman praktis saya di lapangan menunjukan bahwa pengalaman, kemampuan menimba ilmu secara terus-menerus (continuing education), leadership, human relation, dan tentu, visi jauh ke depan selaras dengan transformasi digital yang deras bergulir, adalah faktor penentu kapasitas itu.

Mengandalkan ilmu yang dimiliki saat belajar di perguruan tinggi tanpa terus meng-update diri sangatlah tak cukup. Apalagi transformasi digital terus berlari cepat, di mana ekosistem, dan unsur konvergensinya terus berubah.

Pada level jabatan tertentu, kombinasi berbagai disiplin ilmu menjadi sangat penting. Jabatan setara Eselon I di pemerintahan, misalnya, yang sangat sarat dengan policy, sangat penting di-back up dengan berbagai kemampuan multi disiplin dan pengalaman luas.

Asyncronus Method

Di sinilah pentingnya update dan proses continuing education. Perguruan tinggi seharusnya bisa menangkap kebutuhan ini. Materi-materi kuliah dalam bentuk asyncrinus perlu terus ditingkatkan.

Asynchronous adalah pembelajaran yang dilakukan secara tunda, dengan Learning Management system (LMS).

Materi dan bahan ajar sudah dipersiapkan pada platform digital, dan dapat diakses secara fleksibel oleh mahasiswa kapan saja. Bahan ajar ini membuka ruang diskusi produktif antarmahasiswa dan dosen.

Agar update dan optimal, pelibatan kerja sama pentahelix yang mencakup unsur multipihak yang meliputi pemerintah, akademisi, pelaku usaha, komunitas, dan media menjadi penting.

Media dalam hal ini diperluas juga tidak hanya media mainstream, tetapi mencakup platform digital dan media sosial bereputasi.

Melalui kolaborasi progresif, maka sumber materi bisa disampaikan selain oleh para akademisi, juga oleh praktisi, pelaku bisnis, pemerintah, media, dan pengamat atau praktisi lainnya. Pemanfaatan materi ajar bisa dibuka untuk seluruh unsur pentahelix tadi.

Metode Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) juga bisa memanfaatkan formula ini. Mahasiswa di satu fakultas, bisa menimba ilmu dan mengambil mata kuliah di fakultas lain secara asyncronus untuk membulatkan disiplin ilmu dan keahliannya, secara lebih praktis.

Hal yang juga layak menjadi perhatian kita adalah, realitas terpisahnya kampus dengan para pengambil keputusan, baik para pelaku bisnis maupun pemerintahan.

Terhentinya hubungan ini, jika sampai terjadi, adalah sebuah kesalahan. Kampus seharusnya terus mengawal negara, antara lain dengan kontribusi akademiknya.

Mereka yang sudah berposisi sebagai pimpinan perusahaan, pelaku industri, atau pejabat pemerintahan sebagai pengambil keputusan, sangat bagus jika tetap berkesempatan mengambil kuliah atau mengikuti continuing education di kampus.

Hal ini akan berdampak positif untuk membantu agar segala keputusan yang mereka ambil selaras dengan keilmuan, etika profesi, komitmen kepada kepentingan publik, dan landasan filosofis yang mumpuni.

Jauhnya kampus dari praktisi dan pengambil keputusan akan menambah predikat bahwa kampus hanya sekadar “menara gading”.

Terakhir, hal yang harus dijaga betul adalah, terpenuhinya prasyarat ilmiah. Di mana kualitas keilmuan dan standar akademik, harus tetap dipertahankan sesuai dengan policy kampus untuk semua strata.

Abai terhadap masalah terakhir ini akan berdampak buruk baik bagi kampus, maupun para lulusannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com