Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Membasahi Lahan Gambut, Bercocok Tanam hingga Beternak, Cara Suku Anak Dalam Jambi Cegah Kebakaran Berulang

Kompas.com - 09/11/2022, 12:45 WIB
Suwandi,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAMBI, KOMPAS.com - Kebakaran hebat 2015 silam telah melumpuhkan ekonomi dan menyisakan trauma mendalam terhadap masyarakat di pinggir hutan, termasuk kelompok minoritas Suku Anak Dalam (SAD) di Desa Muara Medak, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.

Pascakebakaran, keadaan hutan dan lahan gambut di Muara Medak, tak lagi mampu menopang kehidupan kelompok Suku Anak Dalam untuk hidup nomaden.

Sehingga pada 2018, Pertamina Hulu Energi (PHE) Jambi Merang membuat rumah layak huni untuk mereka. Bahkan tidak hanya papan (tempat tinggal) program pemberdayaan dari perusahaan plat merah ini juga menyentuh peningkatan ekonomi dan pendidikan anak-anak Suku Anak Dalam.

"Kini kami tidak lagi berpindah-pindah (nomaden) karena sudah dibuatkan rumah oleh Pertamina. Kami juga, secara bertahap dibina untuk memperbaiki ekosistem lahan gambut, yang menjadi 'rumah' bagi kami," kata Usman, warga Suku Anak Dalam Desa Muara Medak, Selasa (8/11/2022).

Ia mengatakan tidak hanya rumah, Pertamina juga membantu anak-anak Suku Anak Dalam untuk mengakses pendidikan. Sudah banyak anak-anak yang kini menempuh pendidikan di sekolah formal.

Baca juga: Pakai PLTS, Kelompok Ibu-ibu Ini Bangun Kebun Hidroponik untuk Kebutuhan Sayur di Jambi

Mendorong perekonomian Suku Anak Dalam

Selanjutnya mendorong peningkatan ekonomi dengan menanam pinang, nanas dan jelutung di lahan gambut. Tanaman ini tidak rakus air, sehingga tidak merusak hutan di lahan gambut. Sebaliknya, merawat lahan-lahan tidur pascakebakaran agar kembali hijau.

Untuk meningkatkan ekonomi, kata Usman bersama gabungan kelompok tani (Gapoktan) Berkah Hijau Lestari, seluruh warga SAD mendapatkan hak untuk mengelola lahan seluas 3.500 hektar dengan skema perhutanan sosial.

Usman bersama Gapoktan Berkah Hijau Lestari menanam jelutung, pinang dan nanas di lahan perhutanan sosial tersebut. Dia menyadari menanam tanaman yang rakus air di lahan gambut akan mendatangkan bencana.

"Kami sudah trauma dengan kebakaran. Napas sesak karena kabut asap di mana-mana. Sulit mendapatkan air bersih, karena kekeringan. Padahal tempat kami ini, tempatnya air," cerita Usman.

Baca juga: Pertamina Temukan Cadangan Minyak Bumi di Jambi

Cegah kebakaran berulang lahan gambut

Untuk saat ini, warga SAD terlibat dalam regu peduli air (Reper) dan terlibat aktif memantau sekat kanal, sekat bakar dan tinggi muka air di lahan gambut jika memasuki musim kemarau.

Dengan pengelolaan gambut yang dilakukan selama 5 tahun terakhir, telah menunjukkan perbaikan di sisi lingkungan. Warga SAD yang sehari-hari mencari ikan, kini dengan mudah mendapatkan ikan, baik di dalam kanal maupun sungai-sungai.

"Kini sudah mudah mencari ikan. Tidak perlu jauh-jauh (sampai bermalam) di tempat mencari ikan. Penghasilannya cukup, untuk membeli kebutuhan sehari-hari," kata Usman.

Hal senada disampaikan Ketua Gapoktan Berkah Hijau Lestari, Edi Susanto. Kebakaran pada 2015 lalu di Muara Medak, memberikan dia kesadaran bahwa gambut dan air tidak boleh dipisahkan.

"Gambut dan air itu satu kesatuan. Memisahkan mereka berarti mengundang bencana. Itu artinya gambut harus tetap basah," kata Edi menjelaskan.

Kebakaran di Muara Medak pada 2015 lalu, telah menghanguskan 250 hektar lahan. Tak lama berselang, setelah masyarakat sadar dan bergotong royong menjaga lahan gambut tetap basah, kebakaran berulang yang terjadi pada 2019, hanya 5 hektar saja.

Baca juga: Siapa Bilang Lahan Gambut Hanya Hasilkan Kabut Asap, Ini Buktinya…

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com