Hal itu lantaran dibantu Pertamina, masyarakat dapat membangun sekat kanal, sekat bakar dan memasang alat pengukur muka air di lahan gambut. Sehingga kekurangan air di lahan gambut dapat dideteksi secara dini.
Pemasangan sekat kanal permanen di dua titik, selanjutnya sekat kanal dengan terpal dengan daya tahan 3 bulan, telah terpasang saat musim kering sebanyak 16 titik.
Untuk sekat bakar dia memanfaatkan tanaman ramah lingkungan yaitu nanas. Saat ini sudah ditanam nanas dengan seluas 2 hektar. Nantinya, nanas akan ditanam di perbatasan lahan dengan lebar 100 meter dan panjangnya mengikuti luas lahan yang dikelola Gapoktan Berkah Hijau Lestari.
Selain itu, kata Edi juga telah dipasang menara api, untuk memantau adanya titik api dan beberapa unit alat pengukur tinggi muka air.
"Kalau kami cek, tinggi muka air sudah di bawah normal, maka kami para Reper, bisa menginap 2-3 hari di menara api, untuk berjaga-jaga adanya titik api," kata Edi.
Untuk wilayah Muara Medak pada beberapa titik terdapat kubah gambut dengan kedalaman lebih dari 10 meter. Untuk gambut yang biasa, kedalamannya hanya 3-4 meter.
Dengan demikian, kata Edi amat penting menjaga lahan gambut agar tetap basah. Program dari Pertamina, memungkinkan masyarakat melakukan pembasahan (rewetting) gambut, regevetasi (revegetation) dan revitalisasi (revitalization) secara sekaligus dalam waktu bersamaan.
Untuk revegetasi di lahan gambut, kata Edi para petani menanam jelutung rawa dan pinang. Untuk revitalisasi dengan tujuan peningkatan ekonomi, masyarakat mengembangan peternakan ayam dan bebek. Kemudian menanam nanas dan budidaya ikan di keramba apung.
"Kita sekarang sudah mandiri juga. Untuk pakan hewan ternak kita kembangkan budidaya magot. Jadi kami tidak usah beli," kata Edi.
Untuk mengelola lahan tidur bekas kebakaran, pihaknya juga mengolah kotoran sapi menjadi pupuk kompos. Kelompok tani sekarang dapat mandiri dalam mengelola ekosistem hutan dan lahan gambut yang berkelanjutan.
Meskipun berada di kawasan hutan, ada beberapa perusahaan sawit yang telah masuk ke kawasan masyarakat di Desa Medak. Untuk mengolah limbah dari kebun sawit, para ibu-ibu Gapoktan Berkah Hijau Lestari, memanfaatkan lidi daun sawit sebagai piring.
Inah, perempuan dari Desa Muara Medak menganyam lidi sawit untuk membuat piring, yang bentuknya unik namun praktis digunakan terutama di acara hajatan pernikahan.
Inah menuturkan pembuatan kerajinan piring dari lidi sawit ini, dibuat berdasarkan pesanan. Kebanyakan pesanan datang dari usaha ketring pernikahan. Sekali pesan, dia dapat membuat sampai 120 unit.
"Kalau bahannya sudah siap. Cuma butuh waktu 30 menit, 1 kerajinan piring sudah jadi. Kalau harganya itu beragam sesuai ukuran. Mulai dari Rp70.000-100.000 per unit kerajinan," kata Inah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.