Regulator asuransi beranggapan, pendekatan RBC lebih tepat digunakan untuk pasar asuransi era 1990-an dibandingkan dengan pendekatan syarat modal setor minimum untuk semua perusahaan asuransi dengan kategori tertentu.
Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada RBC mempertimbangkan adanya perbedaan dalam praktik dan prosedur underwriting dan investasi pada setiap perusahaan dalam memupuk permodalan dan pembentukan cadangan teknis.
Sebagai contoh, dua perusahaan dengan ukuran yang sama, satu perusahaan beroperasi dengan sangat konservatif, sementara yang lain sangat agresif. Dengan pendekatan modal setor minimum tersebut, kedua perusahaan harus memenuhi syarat modal setor yang sama.
Dengan pendekatan RBC, perusahaan yang lebih ekspansif dan agresif harus menjaga tingkat RBC yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang lebih konservatif. Dengan demikian, pada pendekatan RBC, kebutuhan permodalan antara perusahaan yang satu dengan yang lain berbeda. Tergantung tingkat risiko kerugian yang dialami masing masing perusahaan.
Sebab itu, peraturan yang berlaku di AS tidak membenarkan konsep RBC digunakan sebagai alat ukur rating (pemeringkatan) maupun ranking (pengurutan), mengingat angka RBC sangat relatif terhadap kebutuhan permodalam masing-masing perusahaan.
Komplikasi RBC sebagai alat rating terjadi saat rating memasukkan RBC sebagai salah satu indikator dan menghasilkan perusahaan asuransi dikategorikan “tidak bagus” justru menunjukkan RBC ribuan persen.
Konsep RBC itu masih menimbulkan perdebatan di negara asalnya, karena dampaknya pada sikap kehati-hatian perusahaan dalam melakukan underwriting dan investasi pada akhirnya dapat menurunkan profitabilitas perusahaan.
Setidaknya di bidang asuransi jiwa, relatif tidak ada perbedaan antara regulator dan pelaku industri dalam menetapkan faktor-faktor risiko dan implementasinya. Karena fleksibilitas pengukuran solvency yang berbasis penilaian aktuarial pada asuransi jiwa menjadi kunci dari kesepakatan antara pelaku industri dengan regulator.
Tidak demikian dengan asuransi umum, dalam menetapkan faktor-faktor risiko khususnya dalam hal penetapan cadangan premi dan klaim, risiko underwriting bisnis baru dan kompleksitas hubungan aset dan liabilitas (kewajiban), terutama dinamika hubungan antara pergerakan pasar modal dengan siklus underwriting, untuk dapat mengukur kecukupan modal (Dickinson , Geneva Report on Risk and Insurance , No 82 Januari 1997 , p 76 -85 ).
Para peneliti bahkan berkesimpulan, konsep RBC tidak lebih baik dari konsep modal setor minimum, terlebih di era disrupsi dan VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity) saat ini yang ditandai dengan derasnya arus merger dan akuisisi.
Indonesia sendiri menganut dua konsep sekaligus, baik modal setor minimum maupun RBC. Terkait ketentuan modal setor, perusahaan asuransi harus memiliki modal disetor pada saat pendirian paling sedikit sebesar Rp 150 miliar. Perusahaan reasuransi Rp 300 miliar, perusahaan asuransi syariah Rp 100 miliar , dan perusahaan reasuransi syariah Rp 175 miliar.
Apapun ukuran yang digunakan, yang pasti diperlukan konsistensi dan ketegasan regulator asuransi agar regulasi diarahkan untuk memacu kesehatan industri asuransi tanpa pengecualian dengan langkah-langkah korektif yang nyata.
Di lain pihak kompetensi dan integritas para pelaku industri menjadi kunci dari semua masalah yang melanda perasuransian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.