Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Adhitya Wardhono
Dosen

Dosen dan peneliti ekonomi di Universitas Jember

Menekan Inflasi di Tengah Turbulensi Ekonomi Global

Kompas.com - 16/11/2022, 10:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERFORMA ekonomi Indonesia menunjukkan hasil cukup baik di bulan Oktober 2022. Paling tidak dilihat dari beberapa indikator makroekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, ekspor, dan optimisme agen ekonomi.

Namun sejatinya perekonomian global masih mengalami turbulensi yang cukup hebat. Masalah geopolitik antara Rusia-Ukraina, pengetatan kebijakan moneter di berbagai negara maju, inflasi global yang masih ganas, dan perlambatan ekonomi China, membuat resesi global semakin nyata.

Dampak dari turbulensi global terasa pada nilai tukar yang terus terdepresiasi. Alhasil, cadangan devisa Indonesia juga kian tergerus. Kondisi itu menandakan adanya masalah di pasar valas dan risiko penurunan efektivitas intervensi nilai tukar.

Baca juga: BI Perkirakan Inflasi November 2022 Capai 0,11 Persen, Ini Faktor Penyebabnya

Lebih dari itu, penurunan inflasi bisa dimaknai sebagai dua hal. Pertama, kebijakan yang dilakukan pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sudah tepat dan terasa. Kedua, inflasi yang persisten selama beberapa bulan telah menekan konsumsi masyarakat, khususnya di sektor informal, sehingga permintaan mengalami penurunan.

Kondisi ini bisa berbahaya karena konsumsi adalah bantalan pertumbuhan ekonomi selama ini. Pelemahan konsumsi tentu membuat Indonesia bisa saja terkena resesi.

Lebih jauh adanya isu kenaikan upah memang bisa menjadi solusi untuk menekan pelemahan konsumsi yang diakibatkan inflasi. Namun, tentu ada risiko dari kenaikan upah yaitu cost push inflation dan potensi PHK (pemutusan hubungan kerja), sehingga isu kenaikan upah ini bisa saja menjadi bumerang bagi perekonomian.

Pilihan tepat BI

Mencermati perkembangan ini maka BI kembali menggerek suku bunganya sebesar 50 basis poin menjadi 4,75 persen. Kenaikan tersebut tidak dapat dihindari.

Kenaikan suku bunga oleh BI merupakan langkah yang tepat dalam menekan laju inflasi dan memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah. Ini menjadi langkah pendahuluan untuk memastikan inflasi inti kembali ke sasaran di semester pertama 2023.

Baca juga: Inflasi AS Mereda, Nilai Tukar Rupiah Perkasa ke Rp 15.511 Per Dollar AS

Inflasi Indonesia pada Oktober jauh di luar sasaran yaitu sebesar 5,71 persen, walaupun menurun dari sebelumnya. Dampak tidak langsung dari kenaikan harga BMM dan gangguan rantai pasok eksternal menjadi dalang inflasi terpental dari targetnya.

Langkah BI menaikkan suku bunga juga sebagai salah satu cara untuk menjaga ekspektasi inflasi yang terlalu tinggi. Terlebih, sejauh ini inflasi domestik juga tidak menunjukkan penurunan di tengah tekanan internal. Sebagai impak tak langsung dari kenaikan harga BBM dan aspek produksi dan konsumsi yang kian meningkat.

Kenaikan suku bunga BI juga merupakan langkah meredam ekspektasi inflasi yang tinggi (overshoting) akibat tekanan dari sektor eksternal. Isu resesi global yang semakin berembus kencang membumbui pesimisme pelaku ekonomi.

Beberapa biangnya adalah gangguan rantai pasok dan ledakan harga komoditas akibat konflik geopolitik Rusia-Ukraina yang menjadi penyebab utama peningkatan inflasi global. Terlebih, pengetatan moneter yang dilakukan sejumlah negara untuk meredam inflasi yang terlalu tinggi menyebabkan perekonomian dunia menjadi lebih kaku.

Kondisi inilah yang menyebabkan pelaku ekonomi berekpektasi bahwa isu stagflasi merupakan keniscayaan. Terlebih, inflasi sejauh ini terus melambung tinggi di beberapa negara maju. Contohnya inflasi AS masih tinggi, yaitu 8,3 persen di September 2022.

Kondisi itu secara tak langsung memberikan sinyal bahwa pengetatan kebijakan moneter luar negeri masih belum berakhir dan berpotensi melemahkan ekonomi.

Baca juga: Inflasi Oktober 5,71 Persen, Sri Mulayni: Lebih Rendah dari Perkiraan Awal

Kemudian, dari sisi nilai tukar rupiah, potensi pengetatan moneter di sejumlah negara masih perlu diwaspadai. Pada 1 Oktober lalu rupiah jatuh di atas 15.000 akibat derasnya capital outflow sebagai impak suku bunga luar negeri yang lebih bergairah.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com