Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agus Herta
Dosen

Dosen FEB UMB dan Ekonom Indef

Meredam Efek Samping Kenaikan Suku Bunga Acuan BI

Kompas.com - 18/11/2022, 09:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEBAGAIMANA telah diprediksi sebelumnya, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 16 dan 17 November 2022 kembali menaikkan tingkat suku bunga acuan, BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR), sebesar 50 basis poin (bps). Dengan kenaikan ini maka sejak Juli 2022, BI sudah empat kali menaikkan suku bunga acuannya dengan total akumulasi kenaikan sebesar 1,25 persen.

Di tengah kenaikan tingkat inflasi dan suku bunga global, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), dan terjadinya capital outflow dalam sistem keuangan Indonesia, kenaikan suku bunga acuan itu merupakan langkah paling realistis yang harus dilakukan BI untuk merespon berbagai kondisi yang serba tidak ideal saat ini.

Baca juga: Suku Bunga Acuan BI Naik Lagi, Bagaimana Dengan Bunga Perbankan?

Kebijakan yang dibuat BI itu bukanlah kebijakan ideal yang dapat memuaskan semua pihak. Bahkan langkah BI itu dianggap sebagian pelaku ekonomi sebagai pilihan kebijakan tidak populis yang akan semakin memperberat langkah dan kinerja para pelaku industri di sektor riil.

Ibarat obat kimia dalam dunia medis, langkah BI itu dinilai bisa berpotensi menimbulkan efek samping pada organ lain. Bahkan jika tidak dikelola dengan baik, efek samping yang mungkin timbul bisa lebih besar dari efek positif yang tercipta dari kebijakan tersebut.

Efek samping

Kenaikan suku bunga BI7DRR merupakan kebijakan tidak populis yang dapat mengerek dan mendorong suku bunga kredit efektif di lembaga perbankan dan pembiayaan. Kenaikan itu  akan meningkatkan biaya modal yang harus ditanggung para pelaku industri.

Meningkatnya biaya modal menjadikan ekspansi usaha para pelaku industri sebagai langkah yang sangat berat. Di tengah naiknya biaya modal, menambah kapasitas produksi, membangun pabrik baru, dan menambah jumlah tenaga kerja menjadi pilihan yang tidak realistis.

Padahal sejak mewabahnya pandemi Covid-19 dan berkobarnya perang Rusia-Ukraina, sebagian besar pelaku industri sudah menanggung beban dan biaya tambahan dari kenaikan berbagai bahan baku input produksi. Para pelaku industri juga harus menanggung kenaikan biaya energi sebagai efek dari naiknya harga bahan bakar minyak (BBM).

Bahkan, kenaikan harga BBM juga berimplikasi pada naiknya biaya transportasi dan distribusi yang selama ini kontribusinya mencapai 20-30 persen dari total biaya produksi.

Kenaikan BI7DRR terasa lebih pahit karena dalam waktu dekat perusahaan juga dihadapkan pada kemungkinan kenaikan tingkat Upah Minimum Regional (UMR) sebagai rutinitas tahunan kenaikan biaya pegawai. Di waktu bersamaan, perusahaan harus memikul beban tambahan yang berasal dari sisi permintaan.

Naiknya tingkat inflasi, suku bunga, dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan menggerus daya beli masyarakat. Bagi para pelaku industri, berkurangnya daya beli maysarakat sama saja dengan hilangnya pasar bagi produk-produk mereka.

Hilangnya pasar sama dengan turunnya pendapatan dan keuntungan perusahaan. Bagi sebagian pelaku industri, kehilangan pendapatan dan keuntungan perusahaan dalam jangka waktu tertentu bisa menjadi kiamat yang menghentikan seluruh aktivitas perusahaannya.

Tidak semua pelaku industri memiliki kemampuan dan kapasitas yang baik untuk beradaptasi dengan kenaikan BI7DRR. Bagi sebagian pelaku industri, naiknya biaya modal harus diimbangi dengan pengurangan kapasitas produksi.

Baca juga: BI Kembali Naikkan Suku Bunga Acuan 50 Bps

Hal ini berarti perusahaan akan mengurangi pembelian bahan baku, menunda dan mengurangi belanja operasional, serta mengurangi jumlah tenaga kerja.

Langkah yang dilakukan secara kolektif oleh para pelaku industri ini akan mengerem laju produksi secara keseluruhan, menurunkan permintaan terhadap barang-barang input produksi, menunda penciptaan lapangan kerja baru, menciptakan pengangguran, mengurangi pendapatan masyarakat, dan meningkatkan kemiskinan.

Kenaikan BI7DRR bisa menimbulkan efek domino terhadap kondisi ekonomi makro secara luas jika tidak dikelola dengan baik. Pemerintah dan BI harus mampu memitigasi risiko dengan baik dan memberikan perlakuan yang tepat terhadap berbagai risiko yang mungkin muncul dari kenaikan BI7DRR tersebut.

Meredam efek negatif

Efek samping kenaikan BI7DRR terhadap kinerja pelaku industri tidak boleh dianggap enteng dan para pelaku industri dibiarkan beradaptasi sendiri dalam mekanisme pasar. Jika proses adaptasi dan pemulihan diserahkan ke dalam mekanisme pasar, maka proses pemulihan dan adaptasinya bisa berlangsung dalam jangka waktu lama dan menimbulkan efek traumatik yang besar bagi para pelaku industri.

Karena itu, pemerintah bersama BI harus mengambil inisiatif untuk membuat kebijakan afirmatif yang bisa mendorong proses adaptasi dan pemulihan tersebut berlangsung singkat. Pemerintah harus membuat kebijakan shock absorber yang dapat meredam efek negatif kenaikan BI7DRR dari dua sisi sekaligus, supply dan demand.

Dari sisi supply, pemerintah bersama BI dapat memberikan relaksasi terhadap berbagai pungutan yang selama ini menjadi beban biaya yang harus ditanggung para pelaku industri. Pemerintah melalui kebijakan fiskalnya dapat secara temporer memberikan relaksasi pajak dengan memberikan beberapa kebijakan tax holiday sehingga dapat mengurangi komponen biaya yang harus ditanggung perusahaan.

Pemerintah bersama dengan BI juga bisa memberikan subsidi suku bunga khusus untuk sektor-sektor padat karya sehingga bisa mengurangi beban biaya modal yang meningkat akibat kenaikan BI7DRR.

Dari sisi demand, pemerintah bisa melanjutkan dan meningkatkan program-program jaring pengaman sosial (social safety net) yang mampu menjaga daya beli masyarakat. Program jaring pengaman sosial bisa berupa bantuan dan subsidi gaji, bantuan bahan pangan pokok, bantuan kesehatan, bantuan pendidikan, maupun bantuan langsung tunai.

Melalui program jaring pengaman sosial itu, masyarakat yang tergerus daya belinya baik akibat kenaikan harga barang dan jasa ataupun karena berkurangnya pendapatan, dapat tetap melakukan konsumsi sehingga permintaan terhadap barang dan jasa yang diproduksi perusahaan tidak mengalami perubahan signifikan.

Jika langkah-langkah dan program-program adaptif dan antisipatif bisa dilakukan pemerintah dan BI dengan baik, efek samping kebijakan kenaikan BI7DRR akan dapat diminimalisir dengan baik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com