Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agus Herta
Dosen

Dosen FEB UMB dan Ekonom Indef

Menciptakan Struktur Ekonomi Tahan Krisis

Kompas.com - 19/11/2022, 07:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MEMASUKI penghujung tahun 2022, tantangan ekonomi belum terlihat berkurang. Awan ketidakpastian masih menyelimuti kinerja perekonomian di hampir semua sektor, mulai dari sektor riil sampai sektor jasa keuangan.

Meredanya penyebaran Covid-19 tidak serta merta menghilangkan awan gelap tersebut. Sebaliknya, awan ketidakpastian itu semakin membesar seiring meletusnya perang Rusia-Ukraina.

Perang antar kedua negara tersebut telah mengerek harga komoditas energi dan pangan ke tingkat paling tinggi dalam sejarah perekonomian modern. Kedua negara merupakan pemasok komoditas pangan dan energi terbesar di dunia.

Baca juga: BI Sebut Terjadi Multi Krisis Global, Sektor Keuangan Diminta Waspada

Kenaikan harga kedua jenis komoditas tersebut berdampak pada naiknya tingkat inflasi global secara signifikan. Bahkan beberapa negara sudah mulai berjatuhan karena tidak bisa menyesuaikan dengan kondisi yang serba tidak pasti.

Amerika Serikat (AS), Inggris, Rusia, Ukraina, Turki, dan Brasil menjadi deretan negara yang perekonomiannya sudah terlebih dahulu terguncang akibat perang Rusia-Ukraina yang tidak berkesudahan. Padahal negara-negara tersebut sebelumnya sedang berada dalam masa pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Sama seperti negara-negara lain, Indonesia juga menjadi salah satu negara yang terkena dampak dari perang Rusia-Ukraina yang tidak berkesudahan. Namun beruntungnya, Indonesia menjadi segelintir negara yang relatif mampu bertahan dari gelombang kejut yang melanda seluruh negara.

Pengalaman guncangan ekonomi

Pengalaman telah memberikan Indonesia pelajaran bagaimana menghadapi berbagai gelombang kejut ekonomi. Walaupun struktur ekonomi Indonesia masih rentan terhadap berbagai potensi guncangan ekonomi, sejak tahun 2008 struktur ekonomi Indonesia sudah mulai bisa merespon dan beradaptasi dengan berbagai gelombang kejut yang datang dari luar.

Indonesia memiliki pengalaman dan sejarah panjang terkait goncangan ekonomi yang datang dari luar dan mengganggu stabilitas sistem perekonomian nasional. Setidaknya Indonesia pernah mengalami tiga goncangan besar yang menghantam stabilitas perekonomian nasional.

Satu di antaranya bahkan berujung pada krisis politik yang menumbangkan rezim Orde Baru dan melahirkan Rezim Reformasi. Goncangan ekonomi pertama yang dialami Indonesia terjadi awal tahun 1980-an melalui gejolak harga minyak bumi.

Indonesia yang pada saat itu sangat bergantung terhadap komoditas minyak bumi harus kehilangan sumber utama pendapatannya seiring berakhirnya periode “booming” minyak bumi. Harga minyak bumi pada waktu itu jatuh sangat dalam dari sekitar 35 dolar AS per barel menjadi di bawah 10 dolar per barel.

Pemerintah Orde Baru ketika itu merespon guncangan ekonomi tersebut melalui sistem keuangan, yaitu dengan mengeluarkan paket kebijakan di sektor perbankan yang dikenal dengan istilah Paket Juni (Pakjun) 1988 dan Paket Oktober (Pakto) 1988.

Serangkaian paket kebijakan tersebut cukup efektif mengatassi kelangkaan likuiditas pada waktu itu sehingga program-program pembangunan masih tetap dapat berjalan dengan baik.

Goncangan kedua terjadi tahun 1997-1998 dan goncangan ini menjadi goncangan terbesar dalam sistem perekonomian Indonesia. Krisis ini mengakibatkan nilai tukar rupiah terdepresiasi sangat dalam dari Rp 2.500 per dolar menjadi sekitar Rp 16.000 per dolar.

Goncangan yang berasal dari krisis di sektor keuangan itu berujung pada krisis politik yang menyebabkan jatuhnya rezim Orde Baru.

Goncangan ketiga terjadi tahun 2008 yang sumbernya masih sama, yaitu sektor keuangan.  Namun dengan titik episentrum yang berbeda. Krisis ini berasal dari kasus subprime mortgage di AS yang kemudian menjalar ke semua negara, termasuk Indonesia.

Namun berbeda dengan banyak negara, pada tahun 2008 – 2009 Indonesia relatif mampu melalui krisis tersebut dengan baik. Di tengah pertumbuhan ekonomi dunia yang negatif, Indonesia saat itu masih mampu tumbuh positif di angka 4,5 persen.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com