MEMASUKI penghujung tahun 2022, tantangan ekonomi belum terlihat berkurang. Awan ketidakpastian masih menyelimuti kinerja perekonomian di hampir semua sektor, mulai dari sektor riil sampai sektor jasa keuangan.
Meredanya penyebaran Covid-19 tidak serta merta menghilangkan awan gelap tersebut. Sebaliknya, awan ketidakpastian itu semakin membesar seiring meletusnya perang Rusia-Ukraina.
Perang antar kedua negara tersebut telah mengerek harga komoditas energi dan pangan ke tingkat paling tinggi dalam sejarah perekonomian modern. Kedua negara merupakan pemasok komoditas pangan dan energi terbesar di dunia.
Baca juga: BI Sebut Terjadi Multi Krisis Global, Sektor Keuangan Diminta Waspada
Kenaikan harga kedua jenis komoditas tersebut berdampak pada naiknya tingkat inflasi global secara signifikan. Bahkan beberapa negara sudah mulai berjatuhan karena tidak bisa menyesuaikan dengan kondisi yang serba tidak pasti.
Amerika Serikat (AS), Inggris, Rusia, Ukraina, Turki, dan Brasil menjadi deretan negara yang perekonomiannya sudah terlebih dahulu terguncang akibat perang Rusia-Ukraina yang tidak berkesudahan. Padahal negara-negara tersebut sebelumnya sedang berada dalam masa pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Pengalaman telah memberikan Indonesia pelajaran bagaimana menghadapi berbagai gelombang kejut ekonomi. Walaupun struktur ekonomi Indonesia masih rentan terhadap berbagai potensi guncangan ekonomi, sejak tahun 2008 struktur ekonomi Indonesia sudah mulai bisa merespon dan beradaptasi dengan berbagai gelombang kejut yang datang dari luar.
Indonesia memiliki pengalaman dan sejarah panjang terkait goncangan ekonomi yang datang dari luar dan mengganggu stabilitas sistem perekonomian nasional. Setidaknya Indonesia pernah mengalami tiga goncangan besar yang menghantam stabilitas perekonomian nasional.
Satu di antaranya bahkan berujung pada krisis politik yang menumbangkan rezim Orde Baru dan melahirkan Rezim Reformasi. Goncangan ekonomi pertama yang dialami Indonesia terjadi awal tahun 1980-an melalui gejolak harga minyak bumi.
Indonesia yang pada saat itu sangat bergantung terhadap komoditas minyak bumi harus kehilangan sumber utama pendapatannya seiring berakhirnya periode “booming” minyak bumi. Harga minyak bumi pada waktu itu jatuh sangat dalam dari sekitar 35 dolar AS per barel menjadi di bawah 10 dolar per barel.
Pemerintah Orde Baru ketika itu merespon guncangan ekonomi tersebut melalui sistem keuangan, yaitu dengan mengeluarkan paket kebijakan di sektor perbankan yang dikenal dengan istilah Paket Juni (Pakjun) 1988 dan Paket Oktober (Pakto) 1988.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.