Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Faktor-faktor yang Bikin Rupiah Melemah

Kompas.com - 19/11/2022, 21:22 WIB
Yohana Artha Uly,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS masih terus menunjukkan pelemahan. Menurut data Boomberg, rupiah di pasar spot Jumat (18/11/2022) kemarin berakhir pada Rp 15.684 per dollar AS, melemah 0,14 persen dibandingkan penutupan sebelumnya.

Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence Sunarsip mengatakan, setidaknya ada 4 faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, baik dari sisi eksternal maupun internal.

Pertama, dari sisi eksternal, pergerakan nilai tukar rupiah sepanjang 2022 lebih dipengaruhi oleh dinamika yang terkait dengan kebijakan suku bunga acuan bank-bank sentral negara lain, terutama suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat atau Fed Fund Rate (FFR).

Baca juga: Rupiah Masih Melemah

Kenaikan FFR secara agresif telah menyebabkan terjadinya capital outflow atau keluarnya dana asing dari Indonesia secara masif sehingga memperlemah nilai tukar rupiah.

Tercatat, sepanjang Januari-September 2022, Indonesia usdah mengalami capital outflow sekitar Rp 161 triliun baik dari pasar saham dan surat berharga negara (SBN).

"Capital outflow itu sangat berpengaruh sekali terhadap nilai tukar rupiah, semakin besar terjadi capital outflow berarti suplai valas (valuta asing) dalam negeri semakin rendah dan itu menyebabkan rupiah dalam posisi yang rentan terhadap volatilitas mata uang global," jelas Sunarsip dalam konferensi pers virtual, Sabtu (19/11/2022).

Kedua, yang juga masih dari sisi eksternal, ia mengatakan investor portofolio asing masih melihat bahwa real interest rate Indonesia kurang menarik dibandingkan beberapa negara emerging market lainnya.

Adapun real interest rate adalah perhitungan antara level suku bunga Bani Indonesia atau BI-7DRR yang sebesar 5,25 persen dikurangi level inflasi Indonesia pada Oktober 2022 yang mencapai 5,7 persen.

"Sehingga spread-nya -0,46 persen. Kalau negatif, pertanda bahwa jika berinvestasi dalam bentuk rupiah itu rugi, karena investasi termakan inflasi," kata dia.

Jika dibandingkan dengan Brasil, Meksiko, dan China yang telah memiliki real interest rate positif, maka dengan posisi real interest rate Indonesia yang negatif, para investor portofolio pun memiliki lebih banyak opsi negara dalam menempatkan dananya di luar pasar keuangan AS.

"Jadi selain harus menghadapi ganasnya pengaruh dollar AS, kita harus menghadapi negara-negara sesama yang positif (real interest rate). Maka tidak mengherankan kenapa rupiah susah menguat sementara mata uang lain sudah mengalami penguatan," papar dia.

Ketiga, faktor dari sisi internal yang mempengaruhi rupiah, yakni permintaan (demand) terhadap valas di Indonesia yang masih tinggi sedangkan sisi pasokannya (supply) cenderung stagnan. Tingginya capital outflow dan demand valas di dalam negeri belum diimbangi oleh suplai valas yang cukup.

Sunarsip bilang, surplus neraca perdagangan yang tinggi, belum cukup kuat untuk mendorong peningkatan posisi cadangan devisa Indonesia karena tingginya permintaan valas.

Keterbatasan suplai valas antara lain tercermin dari indikator loan to deposit ratio (LDR) valas yang meningkat tajam mencaai 78 persen selama 2022. Kenaikan LDR valas mencerminkan bahwa kebutuhan pembiayaan valas tinggi namun suplai valas dari masyarakat terbatas.

Permintaan valas diperlukan untuk impor, repatriasi, dan pembayaran utang luar negeri (ULN). Tahun ini, rasio ULN jangka pendek terhadap cadangan devisa (reserve) jatuh tempo meningkat signifikan dari 41,01 persen pada akhir 2021 menjadi 48,89 persen pada Juni 2022.

"Ini menyebabkan rupiah cenderung sulit bergerak, karena outflow tinggi, demand valas di dalam negeri tinggi tapi supply valas stagnan," kata dia.

Baca juga: The Fed Naikkan Suku Bunga, Apa Dampaknya ke Aset Kripto?

Sunarsip mengatakan, faktor keempat yang mempengaruhi pergerakan rupiah yakni perkembangan penerbitan emisi efek di pasar modal selama tahun 2022 kurang atraktif dibanding tahun lalu.

Hal ini antara lain terlihat nilai emisi efek selama 2022 (hingga minggu pertama November 2022), yang menurun dibanding tahun lalu meskipun jumlah korporasi yang menerbitkan efek baru relatif sama banyaknya dibanding tahun lalu.

Penurunan nilai emisi efek baru tersebut terutama terjadi pada IPO dan right issue. Selain dari sisi nilai, kurangnya emisi dari emiten 'big player' dan 'big name' selama 2022 juga berpengaruh dalam menarik modal asing portofolio masuk ke pasar modal Indonesia.

"Itulah kombinasi faktor internal dan eksternal yang tidak kalah hebat, yang membuat nilai tukar rupiah sulit bergerak mengalami penguatan atau apreasiasi selama 2022 ini," pungkasnya.

Baca juga: Rupiah Terdepresiasi Lebih Dalam dari Mata Uang Lain, Gubernur BI: Ojo Dibanding-bandingke

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com