Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Anggito Abimanyu
Dosen UGM

Dosen Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ketua Departemen Ekonomi dan Bisnis, Sekolah Vokasi UGM. Ketua Bidang Organisasi, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia

Plus Minus RUU Penanganan dan Pengembangan Sektor Keuangan

Kompas.com - 21/11/2022, 07:21 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

GELARAN Presidensi G20 di Indonesia sudah selesai. Salah satu bunyi deklarasi para pemimpin dunia G20 adalah perlunya negara memanfaatkan semua instrumen kebijakan untuk menjaga stabilitas makro ekonomi, ketahanan sektor keuangan, dan memitigasi down side risk.

Sektor keuangan harus memiliki daya tahan dan mendorong pembiyaaan dan aliran modal.

5. Protect macroeconomic and financial stability and remain committed to using all available tools to mitigate downside risks, noting the steps taken since the Global Financial Crisis to strengthen financial resilience and promote sustainable finance and capital flows.

Pemimpin G20 juga menyerukan komitmen kuat untuk menjaga stabilitas harga dan inflasi. Peran Bank sentral sangat penting dan sekaligus memastikan independensi dan kredibitas kebijakan moneter.

30. G20 central banks are strongly committed to achieving price stability, in line with their respective mandates. To that end, they are closely monitoring the impact of price pressures on inflation expectations and will continue to appropriately calibrate the pace of monetary policy tightening in a data-dependent and clearly communicated manner, ensuring that inflation expectations remain well anchored, while being mindful to safeguard the recovery and limit cross-country spillovers. Central bank independence is crucial to achieving these goals and buttressing monetary policy credibility.

Tepat sekali, saat ini Pemerintah dan DPR RI memprioritaskan pembahasan RUU mengenai penanganan dan pengembangan sektor keuangan.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Penanganan dan Pengembangan Sektor Keuangan (P2SK) saat ini sedang dibahas antara Pemerintah dan DPR.

Pemerintah diwakili menteri keuangan, menteri hukum dan HAM, menteri investasi dan menteri koperasi.

Sedangkan DPR diwakili oleh Komisi XI yang membawahkan bidang ekonomi, keuangan dan perbankan.

Tidak banyak publisitas dalam pembahasan Panitia Kerja (Panja) RUU tersebut. Menurut info yang diterima, RUU ini akan disahkan pada pertengahan Desember 2022.

Membaca substansi draf awal RUU P2SK dari website DPR dan mengikuti acara sosialisasi RUU di berbagai kesempatan, dijelaskan bahwa RUU ini merupakan omnibus law dari UU BI, UU OJK, dan UU LPS.

Pengaturan RUU P2SK dimaksudkan supaya ada sinergi dalam mengelola penanganan dan pengembangan sektor keuangan di Indonesia.

Secara umum, substansi RUU tersebut, menurut saya, memberikan faktor plus dalam pengelolaan kebijakan keuangan baik makro maupun mikro.

Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akan diperluas mandatnya hingga diharapkan mampu menangani masalah perekonomian secara umum.

Perluasan mandat ini sangat diperlukan untuk perekonomian yang dari waktu ke waktu akan menghadapi krisis keuangan global.

Perkuatan dan perluasan mandat BI, OJK, dan LPS sebagai jawaban atas kebutuhan menghadapi berbagai krisis keuangan di masa yang akan datang. Di samping itu, tentu perekonomian Indonesia harus tetap stabil dan tumbuh.

Selama ini dorongan pertumbuhan ekonomi berasal dari APBN dan swasta. Dengan semakin kompleks dan beratnya masalah, BI, OJK, dan LPS dapat memainkan perannya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui akselerasi intermediasi sektor keuangan yang inklusif.

Proses digitalisasi dan hilirasi manufaktur juga butuh stimulus APBN, moneter, dan sektor keuangan secara simultan.

Perluasan mandat

Dalam RUU ini, BI diberikan legalitas untuk melakukan burden sharing dalam hal terjadi krisis, serta dapat melaksanakan kebijakan makro dan mikro prudensial untuk mendorong perkembangan sektor riil dan pembangunan ekonomi berkelanjutan.

Bagi BI, kebijakan ini bukan hal yang baru karena memang sudah dilaksanakan terkait dengan penanganan pembiayaan covid-19.

Namun RUU memberikan kekuatan legalitas bagi BI untuk melaksanakannya sesuai dengan kondisi realitas dan kebutuhan pada masa yang akan datang.

OJK akan diberikan tambahan tugas untuk mengembangkan koperasi usaha simpan pinjam dan lembaga keuangan mikro (LKM) yang selama ini lemah dari sisi tata kelola keuangan.

Perizinan, pembinaan, dan pengawasan koperasi simpan pinjam dan LKM yang selama ini berada di pemerintah, dalam hal ini Kementerian Koperasi dan UKM, akan diserahkan ke OJK.

Pemerintah melalui Kementerian Koperasi akan fokus pemberdayaan, fasilitator, dan kompetensi.

Ini mengundang pertanyaan dari para pelaku koperasi dan LKM mengenai peran OJK yang sedemikian luas.

Semangat dalam RUU ini adalah Kementerian Koperasi akan mendorong pertumbuhan dan memberdayakanya, sementara OJK akan mengawasi sisi keuangannya.

Sinergi keduanya diharapkan akan membentuk Koperasi dan Lembaga Keuangan Mikro yang tangguh dari sisi bisnis dan pruden dari sisi tata kelolanya.

Perubahan mindset dari pengelolaan koperasi simpan pinjam yang komprehensif diharapkan tidak memberikan gejolak bagi pelaku dan penggiat koperasi dan LKM.

Tambahan mandat OJK ini membutuhkan waktu peningkatan kapasitas SDM dan jaringan dari OJK untuk dapat menjangkau jutaan koperasi dan LKM di seluruh Indonesia.

Penanganan resolusi bank tetap ada di LPS, namun LPS akan diberikan tugas dan tanggung jawab pada penanganan bank dan asuransi yang mengalami masalah lukiditas dan solvabilitas juga.

Total aset LPS saat ini lebih dari Rp 155 triliun tidak dapat dimanfaatkan secara optimal dalam mendorong kesehatan dan pertumbuhan sektor keuangan.

Dengan adanya legalitas dalam RUU ini, LPS akan dapat berperan dalam kesehatan, pertumbuhan dan inklusifitas sektor keuangan.

Perluasan mandat dari BI, OJK, dan LPS tetap harus dilaksanakan dalam koridor independensi kebijakan yang dihasilkan.

Dalam RUU ini masih ditemukan beberapa pasal yang menggerus independensi otoritas meneter, khususnya Bank Indonesia, bagian 2, KSSK pasal 6, j, bagian SSK, pasal 36A, dan bagian BI, pasal 27.

Dalam ketentuan tersebut mewajibkan Bank Indonesia untuk membahas terlebih dahulu dengan lembaga lain beberapa kebijakan moneter yang merupakan domain dari bank sentral.

Kiranya pasal-pasal tersebut dan beberapa yang sejenis dapat diperbaiki demi memastikan komitmen menjaga independensi Bank Indonesdia, OJK, dan LPS.

Peran DPR

Dalam RUU ini juga diusulkan proses penetapan final para pejabat BI, OJK, dan LPS melalui fit and proper test DPR. Ini yang menjadi faktor minus dan memacu kritik para pelaku dan pengamat.

Peran DPR dalam pengisian jabatan kunci di BI, OJK, dan LPS akan lebih besar. Ujian terakhir posisi Gubernur dan DG Bank Indonesia akan tetap berada di DPR.

Presiden mengirimkan calon di masing-masing posisi minimal dua. Posisi komisioner ex-officio di OJK akan diganti lewat proses seleksi.

Komisioner LPS yang selama ini dipilih oleh Presiden dan anggaran ditetapkan internal akan dirombak total.

Komisioner LPS akan diseleksi dan dipilih oleh DPR. Demikian juga dengan anggaran melalui persetujuan DPR.

Pemilihan komisioner melalui proses fit and proper test DPR adalah proses yang wajar mengingat dana LPS berasal dari deposan melalui industri. Namun seyogyanya proses seleksi tetap dilakukan oleh Pemerintah.

Demikian juga dengan proses seleksi OJK sebaiknya tetap dilakukan oleh Pemerintah untuk menjamin proses seleksi yang obyektif, transparan, dan profesional.

Melalui UU ini juga akan dibentuk Badan Supervisi di OJK dan LPS. Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI) selama ini sudah beroperasi.

Tugas Badan Supervisi membantu DPR dalam memberikan rekomendasi dan analisis terhadap perencanaan dan pengawasan biaya operasional tahunan. Jadi wajar jika Badan Supervisi diseleksi dan dipilih oleh DPR.

Hanya saja biaya operasional internal Badan Supervisi sebaiknya bukan bersumber dari lembaga-lembaga tersebut, tetapi dari APBN. Pembiayaan dari APBN akan dapat mengurangi potensi benturan kepentingan.

Di samping itu, perlu dipastikan bahwa personal Badan Supervisi adalah profesional ahli dan praktisi di bidang ekonomi dan sektor keuangan.

Dengan berjalannya waktu, mudah-mudahan DPR dan Pemerintah dapat mencapai konsensus terbaik untuk meningkatkan ketahanan sektor keuangan dan makro ekonomi.

Pelaku dan pengamat berharap RUU ini dibahas cukup waktu dan dengan pikiran yang jernih, hati-hati, dan profesional. RUU ini punya nilai plus yang lebih banyak daripada minusnya.

Plusnya adalah perluasan mandat akan meningkatkan ketahanan dan pengembangan sektor keuangan.

Minusnya adalah keterlibatan DPR dalam seleksi dan penentuan pengurus. Faktor minus
dapat diredam apabila tidak ada kepentingan selain nilai manfaat UU ini bagi perekonomian nasional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com