Proses pembelian saham perusahaan tambang ini tidaklah murah. Itu yang terjadi dalam penjualan 51 persen saham Freeport Indonesia ke MIND ID. Harga 51 persen saham Freeport kala itu mencapai 5 miliar dolar.
Begitupun dengan Vale Indonesia, harga sahamnya pasti akan sangat tinggi dengan melihat kemampuan perusahaan menghasilkan pendapatan dan laba tinggi. Begitupun dengan total investasi mereka yang begitu besar.
Setelah lima syarat di atas terpenuhi barulah pemerintah memperpanjang kontrak Vale. Dengan begitu, saya kira memperpanjang kontrak Vale ini tak sulit, karena hampir semua syarat sudah dipenuhi.
Pertanyaan yang tersisa adalah mengapa saham perusahaan tambang harus dibeli? Mengapa setelah masa berakhir kontrak, konsensinya tak otomatis dikembalikan ke negara, sebagaimana lazimnya dalam Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Migas, seperti Blok Mahakam dan Blok Rokan?
Hal ini memang harus kita pahami secara cermat. KK tambang sangatlah berbeda dengan kontrak migas Producing Sharing Contract (PSC/skema bagi hasil) dengan skema cost recovery.
Di migas, dengan cost recovery, ada biaya yang ditanggung APBN untuk eksplorasi sebuah blok migas. Karena investasi migas sangat mahal dan berisiko, banyak KKKS yang enggan berinvestasi di ladang-ladang migas jika tak memiliki skema menarik seperti cost recovery.
Itu artinya, jika dalam melakukan eksplorasi dan investasi besar, sebuah perusahaan migas tidak mendapatkan minyak atau gas, itu akan dianggap sebagai kerugian. Kerugian itu akan ditanggung APBN yang disebut cost recovery.
Dengan skema seperti itu, wajar jika setelah masa berakhir kontrak, KKKS migas milik perusahaan asing, seperti Blok Mahakam di Kalimantan Timur (2014) dan Blok Rokan (Riau) wajib dikembalikan ke negara. Setelah dikembalikan negara, pemerintah akan menjual lagi ke perusahaan negara, seperti Pertamina (Persero) dengan harga yang sangat mahal.
Jadi, dalam kontrak migas, negara yang mendapat dana besar dari penjualan blok migas potensial, karena negara sudah mengeluarkan dana besar melalui cost recovery.
Ini sangat berbeda dalam KK pertambangan mineral dan batubara. Dalam KK, semua biaya investasi, mulai dari pembangunan hulu (konsensi) sampai hilir (pabrik smelter) menjadi tanggung jawab korporasi. Korporasi membiayai semua investasi, juga terkait lingkungan hidup, reklamasi pasca tambang dan pembentukan wilayah tambang.
Negara hanya menikmati bagi hasil berupa penerimaan negara, seperti pajak dan royalti. KK zaman Orde Baru memang royalti dan pajaknya dipatok sangat rendah, sehingga tak adil. Namun, setelah pemberlakuan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara, penerimaan negara harus dinaikan agar memberikan keadilan bagi negara.
Itu sudah dilakukan pemerintah terhadap Vale. Perusahaan juga memiliki tanggung jawab besar terhadap masyarakat lingkar tambang dan lingkungan hidup.
Pertanyaan lanjutannya adalah mengapa banyak perusahaan asing kerap diberi label buruk oleh publik dan politisi di Tanah Air terkait asas manfaat tambang untuk masyarakat daerah?
Ini tentu membutuhkan pemahaman tata negara yang baik. Politisi mestinya tak boleh naif dalam mengeluarkan pernyataan publik. Ini bukan hanya kesalahan perusahaan tambang. Karena sistem fiskal kita memang menganut sistem terpusat.
Artinya, ratusan perusahaan tambang dengan nama KK yang ada di daerah, pajak dan royalti terbesarnya masih ditarik ke pusat untuk membiaya pembangunan seluruh negeri ini. Ruang bagi perusahaan tambang untuk menyumbang daerah hanya melalui beberapa hal kecil, seperti pajak air dan CSR.
Hal ini terjadi karena sistem ketatanegaran kita yang menganut unitary system/negara kesatuan. Indonesia bukan negara federal. Dalam negara federal, daerah memiliki otoritas luas mengolah bahan tambang dan kekayaan daerah sesuai dengan kehendak kepala daerah.
Jika Indonesia menganut sistem federal, gubernur Sulawesi Selatan boleh-boleh saja mengolah tambang Vale di Sorowako sesuai dengan kehendak politiknya. Namun, Indonesia yang menganut unitary system, berbeda.
Tangan pusat di daerah masih sangat kuat. Di tambang pun, yang disebut KK atau nanti dalam kasus Vale ini dikonversi menjadi IUPK, menjadi domain pemerintah pusat. Dalam negara kesatuan seperti Indonesia, kekuasaan pemerintah pusat mulai dari mengurus konsensi daerah sampai urusan penerimaan negara sangatlah besar.