Kemudian, perang dan tensi geopolitik juga menyebabkan inflasi pangan karena rantai pasok menjadi terganggu. Bahkan di beberapa negara sampai terjadi krisis pangan.
3. Tren suku bunga tinggi untuk waktu yang lama
Lantaran terjadi inflasi yang tinggi tersebut, berbagai bank sentral berlomba menaikkan suku bunga acuan untuk meredam lonjakan inflasi. Hal inilah yang memicu tren suku bunga acuan tinggi dan diperkirakan akan berlangsung lama.
"Karena inflasinya dari sisi supply dari energi dan pangan, belum tentu inflasinya segera turun sehingga kenapa kejar-kejaran antara menaikkan suku bunga dan inflasi yang tinggi," jelas Perry.
Bank sentral AS (The Fed) menjadi salah satu bank sentral yang secara agresif menaikkan suku bunga acuan di 2022. Tercatat The Fed telah enam kali menaikkan suku bunga acuan dengan total kenaikan 375 basis poin (bps) menjadi di kisaran 3,75-4 persen.
BI memperkirakan di tahun depan The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuan hingga tembus di level 5,25 persen. Diperkirakan puncak kenaikan di Kuartal I dan II 2023 dan kemungkinan tidak akan segera turun.
"Inilah high interest rate for longer, higher for longer. Di Eropa juga begitu ECB atau bank sentral Eropa juga akan terus menaikkan suku bunga dan juga di Inggris," ungkapnya.
Baca juga: Dollar AS Terus Menguat, BI: Kami Mati-matian Stabilkan Nilai Tukar Rupiah
4. Penguatan nilai tukar dollar AS
Sikap agresif The Fed dalam menaikkan suku bunga acuan kemudian berakibat pada penguatan nilai tukar dollar AS terhadap banyak mata uang dunia.
Penguatan ini terlihat pada indeks nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama (DXY) tercatat 106,28 pada 16 November 2022 atau mengalami penguatan sebesar 11,09 persen year todate (ytd) selama tahun 2022.
"Semua negara mengalami tekanan pelemahan karena strong dollar AS. Dollar AS yang menguat karena Fed Funds Rate yang naik, yield US treasury yang juga naik," ucapnya.
5. Cash is the king
Lantaran dollar AS menguat itu, investor global pun cenderung menarik dana dari negara berkembang dan menyimpan dananya di instrumen investasi yang likuid seperti cash dan near cash. Sikap investor ini disebut cash is the king.
"Cash is the king ini yang terjadi di hampir seluruh dunia termasuk emerging market termasuk Indonesia. Kenapa terjadi aliran modal keluar khususnya dari emerging kembali ke Eropa karena yieldnya tinggi dan dollarnya juga strong," pungkasnya.
Baca juga: PDB Anjlok 2 Kuartal Berturut-turut, Rusia Resmi Resesi
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.