Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benarkah Kenaikan Tarif Cukai Rokok Bisa Bikin Orang Berhenti Merokok?

Kompas.com - 24/11/2022, 20:00 WIB
Elsa Catriana,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

 

Pengaruh kenaikan cukai rokok dengan berhenti merokok

Budayawan sekaligus dosen dari Pasca Sarjana Universitas Indonesia dan STAINU, Jakarta, Ngatawi Al-Zastrouw mengatakan, ada banyak faktor seseorang terus atau berhenti merokok. Tapi paling tidak ada dua alasan utama, yaitu alasan kesehatan, dan karena desakan keluarga.

Alasan ekonomi dan agama kurang menjadi pertimbangan seseorang untuk terus atau berhenti merokok.

“Jadi, tidak ada pengaruh signifikan antara kenaikan cukai rokok dengan perilaku merokok. Hal ini dibuktikan dengan terus meningkatnya jumlah perokok meskipun cukai dinaikkan," katanya.

Data Global Adult Tobacco Survey (GATS) menunjukkan dalam 10 tahun terakhir terjadi peningkatan signifikan jumlah perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang, yaitu dari 60,3 juta pada tahun 2011 menjadi 69,1 juta perokok pada tahun 2021. Padahal, sambung Al-Zastrouw, dalam 10 tahun terakhir terjadi kenaikan tarif cukai rokok yang signifikan.

Menurutnya, berdasarkan data yang ada, ketika terjadi kenaikan tarif cukai rokok, para perokok akan melakukan penyesuaian dalam pola merokok. Mereka tidak jera merokok atau berhenti merokok. Salah satu cara mengatasi tekanan karena kenaikan cukai rokok adalah mereka akan lari ke rokok ilegal.

"Inilah yang menyebabkan meningkatnya peredaran rokok ilegal sebagai alternatif untuk mengatasi tekanan harga yang meningkat. Kenaikan jumlah perokok dan rokok ilegal merupakan indikasi, kenaikan tarif cukai rokok bukan solusi yang baik untuk menekan jumlah perokok,” terangnya.

Beralih ke rokok yang lebih murah

Sementara itu, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, kenaikan cukai tidak bisa membuat orang berhenti merokok.

“Ketika angka prevalensi masih tinggi di saat cukai terus dinaikkan, itu bukan berarti kebijakan cukai yang gagal tetapi karena ruang gerak kebijakannya yang terbatas. Kemudian, apakah dengan harga tinggi orang berhenti merokok? Tidak! Mereka malah beralih ke rokok yang lebih murah. Itu namanya dead weight loss atau excess burden,” jelas Nirwala.

Saat ditanya tentang perokok anak, Nirwala mengatakan, hal itu merupakan wilayah non fiskal.

“Meningkatnya perokok anak dalam beberapa tahun terakhir, sementara mereka di rumah terus, berarti ada pengawasan orang tua yang dipertanyakan. Hal seperti ini tidak mungkin dijangkau dengan fiskal,” kata Nirwala.

Ia juga mempertanyakan, apakah masuk akal kalau harga rokok menjadi penyebab kemiskinan, tetapi rekomendasinya justru memahalkan harga rokok.

Menurut Nirwala, ruang gerak DJBC sangat terbatas, karena pengendalian konsumsi rokok berada di wilayah non fiskal. Dalam pengendalian konsumsi rokok sendiri, ada yang dinamakan tindakan preventif dan rehabilitative.

"Dari dua jenis tindakan di atas, selama ini yang ada hasilnya hanya kebijakan cukai. Kalau Key Perfomance Indicator (KPI) dari non fiskal itu tidak searah dengan visi Presiden, artinya koordinatornya tidak berfungsi baik," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com