Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Said Abdullah
Ketua Badan Anggaran DPR-RI

Ketua Badan Anggaran DPR-RI. Politisi Partai Demoraksi Indonesia Perjuangan.

Semerbak Asa Ekonomi Indonesia di 2023

Kompas.com - 30/11/2022, 17:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BANYAK pihak “bersepakat” situasi ekonomi dunia tahun depan penuh ketidakmenentuan. Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kerap menggambarkan situasi ekonomi dunia 2023 gelap. Pernyataan Presiden ini ditujukan agar Indonesia bersiap diri, meskipun Presiden juga menjelaskan situasi ekonomi Indonesia masih lebih baik ketimbang kondisi global.

Meskipun situasinya tidak sama, tahun 1964 Bung Karno pada Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan ke -19 Indonesia saat itu mengutarakan bahwa Indonesia menghadapi tahun Tavip (Tahun Vivere Pericoloso), yakni suatu keadaan yang bisa membuat Indonesia terserempet bahaya.

Baca juga: OECD Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2023 Jadi 4,7 Persen

Bung Karno mencium jalannya revolusi Indonesia dihadapkan dengan berbagai sabotase dan pembajakan oleh aktor dari dalam maupun dari luar. Bagi Bung Karno, jalannya revolusi Indonesia ibarat panasea untuk mengatasi neo kolonialisme dan imperialisme (nekolim), yakni suatu jalan yang berbeda dengan Great Leap Forward-nya Mao Zedong, maupun Revolusi Bolshevik-nya Lenin yang penuh kekerasan.

Ancaman terhadap jalannya revolusi Indonesia bagi Bung Karno dan para penyokong kekuatan progresif saat itu sama halnya memadamkan api perjuangan Indonesia melawan nekolim.

Kita saat ini memang tidak dihadapkan pada bentrokan ideologi kanan dan kiri, dan mungkin bukan eranya lagi. Kiri telah tersungkur lebih awal, seiring runtuhnya tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet. Tiongkok yang awalnya kiri tulen juga memilih jalan revisi besar besaran dengan mengakomodasi pasar. Pilihan ini ditempuh oleh Kamerad pro pasar, Deng Xiaoping hingga Xi Jinping.

Sebaliknya jalan demokrasi liberal-pasar yang mewakili kanan juga tidak baik-baik saja, di banyak tempat dibajak oleh konglomerasi.

Dunia dihadapkan dengan perang, krisis ekologis, krisis pangan dan energi, menjalarnya terorisme, pandemi, narkotika, bahkan jumudnya pasar keuangan. Celakanya negara-negara penganut demokrasi liberal malah menjadi bagian dari persoalan tersebut. Lebih menyedihkan, mereka yang sejak awal penganjur globalisasi, namun pilihan kebijakan yang mereka tempuh saat menghadapi persoalan-persoalan di atas malah mementingkan diri sendiri.

Inisiatif untuk berfikir global dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di atas malah muncul dari Indonesia. Langkah Indonesia menawarkan tema recover together recover stronger pada Pertemuan G20 membuka asa kerja sama global.

Hal ini terjadi lantaran terbinanya hubungan baik dengan para pihak, Indonesia bukan dari blok-blok pertahanan yang bersengketa saat ini, serta mampu menghadirkan irisan kepentingan mayoritas anggota G20. Posisi inilah yang memuluskan G20 Bali Leaders Declaration.

Refleksi krisis

Andaikan tiada pandemi, dan konflik geo-politik, kondisi ekonomi global, terutama sektor keuangan memang sudah rapuh. Setidaknya ada penyakit bawaan atas ekonomi global yang sangat geneologis, dan perlu kita renungkan secara mendalam.

Natur kapitalisme yang diyakini memiliki kemampuan self-correcting, untuk mewujudkan keseimbangan baru justru berulangkali merangkai masalah. Keyakinan yang berlebih atas fundamentalisme pasar malah mencelakai banyak negara, termasuk di Amerika Serikat (AS) sendiri, dan terjadi berulangkali.

Deretan tragedi seperti bangkrutnya Continental Illinois 1984, dan kegagalan Long-Term Capital Management 1998, krisis subprime mortgage dan kebangkrutan Lehman Brothers 2008 hanya secuil fakta ilusi fundamentalisme pasar yang pada akhirnya menyeret keterlibatan otoritas untuk menggunakan dana pubik.

Kini kita menyaksikan tumpukan utang perusahaan pada kawasan emerging market meningkatkan insolvabilitas perusahaan. Kasus Evergrande di Tiongkok membayangi situasi ekonomi mereka penuh kerentanan.

Belum lagi utang korporasi di India, Brasil, Indonesia, dan Uni Emirat Arab. Fenomena ini, bila memuncak hanya akan mengulang krisis sebelumnya yang terjadi di AS, terlebih bila korporasi tersebut telah menjadi raksasa.

Baca juga: Mendag Zulhas Optimistis Ekonomi Indonesia Tumbuh Meski Ada Prediksi Resesi Global

Dari sisi kreditur, bank-bank di negara negara maju, seperti di Eropa telah lama mengalami krisis profitabilitas. Resikonya, investor pesimis usaha perbankan menghasilkan keuntungan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com