Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cukai Naik, Ini Dampaknya untuk Industri Hasil Tembakau

Kompas.com - 02/12/2022, 09:15 WIB
Agustinus Rangga Respati,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan mengatakan, belum adanya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait tarif curah tembakau (CHT) akan berimbas pada kelangsungan usaha pelaku industri hasil tembakau (IHT) legal.

Untuk diketahui, pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) tertimbang 10 persen pada 03 November 2022 lalu.

Namun begitu, hingga akhir bulan November 2022, pemerintah belum mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai dasar pengaturan tarif CHT untuk tahun 2023 dan 2024.

Henry berpendapat, kebijakan cukai yang sangat eksesif selama 3 tahun dan dua tahun mendatang, tidak selaras dengan kebijakan pembinaan IHT legal nasional.

Baca juga: Cukai Rokok Naik Lagi, Anggota Komisi XI Misbakhun Minta Pemerintah Pikirkan Nasib Petani

Pembinaan itu berorientasi menjaga lapangan kerja padat karya, memberikan nafkah petani tembakau dan cengkeh, serta menjaga kelangsungan investasi.

“Implikasi kebijakan cukai yang sudah berlangsung 3 tahun berturut-turut ini, ditambah dua tahun mendatang, akan berdampak negatif bagi iklim usaha IHT legal, potensi PHK tenaga kerja massal, serapan bahan baku dari petani tembakau dan cengkeh akan berkurang," kata dia dalam keterangan pers, Jumat (2/12/2022).

Baca juga: Tak Setuju Kenaikan Cukai Rokok 10 Persen, Petani Tembakau Usul 5 Persen

Selain itu, kenaikan tarif cukai yang sangat eksesif secara berturut-turut menyebabkan disparitas harga rokok legal dibanding rokok ilegal makin lebar.

"Selama tiga tahun berturut turut, tarif cukai dikatrol sangat eksesif yang menyebabkan rokok ilegal sangat marak. Kelihatan sekali terjadi pembiaran atas praktik mafia produsen rokok ilegal yang sangat merugikan rokok legal,” imbuh dia.

Henry membeberkan beratnya pungutan langsung negara terhadap produk tembakau yang semakin berat karena cukai.

IHT legal nasional selain dipungut melalui CHT, juga dibebani Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sebesar 10 persen dari nilai cukai dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 9,9 persen dari harga jual eceran hasil tembakau.

Ketika dijumlahkan, pungutan ketiga komponen pungutan langsung tersebut berkisar di 76,3 persen sampai 83,6 persen dari setiap batang rokok yang dijual, bergantung golongan dan jenis rokok yang di produksi.

Adapun, sisanya 16,4 persen sampai 23,7 persen untuk pabrik membayar bahan baku, tenaga kerja dan overhead serta corporate social responsibility (CSR).

"Artinya harga rokok ilegal sudah menang bersaing walau harganya hanya sekitar 20 persen atau 1/5 dari harga rokok legal," ujar dia.

Henry mengungkapkan kondisi IHT legal nasional saat ini mengalami penurunan, terlebih di masa pandemi Covid-19 seperti saat ini, adanya kebijakan kenaikan BBM, dan perekonomian yang tidak menentu, ini sangat berdampak pada pengusaha rokok, khususnya bagi industri kecil.

"Kenaikan tarif cukai dampaknya bagi industri rokok lebih pada pengurangan produksi. Sedangkan, bagi karyawan dampaknya akan terjadi pengurangan jam kerja karena produk menurun, bahkan berpotensi terjadi adanya efisiensi belanja bahan baku tembakau, cengkeh. Tapi, kalau sudah tidak bisa ya ujung-ujungnya pasti kami melakukan rasionalisasi (PHK),” tandas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com