Pasal 3 UU AAPS menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian Arbitrase. Pasal ini menunjukan pengakuan bahwa Arbitrase memiliki kompetensi absolut setara pengadilan.
Kedua, kompetensi absolut Arbitrase lahir karena adanya kesepakatan para pihak yang bersengketa.
Kesepakatan ini bisa tertuang dalam klausul kontrak yang mereka buat, yang biasa kita kenal dengan pilihan arbitrase (choice of arbitration) atau bisa juga dalam bentuk perjanjian arbitrase (arbitration agreement).
Bedanya, perjanjian Arbitrase biasanya dibuat belakangan setelah terjadi sengketa karena sebelumnya para pihak tidak membuat klausul Arbitrase.
Ketiga, baik klausul maupun perjanjian Arbitrase, lazimnya akan juga memilih institusi Arbitrasenya.
BANI Arbitration Center sebagai Lembaga Arbitrase terkemuka di Indonesia, misalnya, memiliki standar klausul Arbitrase yang dapat digunakan sebagai klausul kontrak yang berbunyi:
"Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir".
Sengketa bisnis yang terjadi sebagai dampak pandemi, seringkali tidak sederhana. Kondisi "memaksa " yang menerpa semua orang di wilayah manapun saat pandemi memerlukan penanganan komprehensif.
Tidak semata-mata melihat norma dan kaidah hukum. Oleh karena itu penggunaan asas ex aequo et bono seringkali dimintakan para pihak kepada arbiter yang memutusnya.
Berikut adalah kentungan dan kelebihan arbitrase:
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.